Serang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Banten memastikan tetap menganggarkan pembayaran gaji bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), meskipun menghadapi penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan tekanan fiskal anggaran yang signifikan.
Wakil Gubernur Banten A Dimyati Natakusumah di Serang, Senin (28/7) menegaskan, pemenuhan hak P3K merupakan belanja wajib yang tidak bisa dihindari.
“Yang namanya pekerja itu belanja wajib. Mau dia PNS, mau dia P3K, itu belanja wajib,” katanya.
Baca juga: Tambah PAD, Pemprov Banten sewakan aset daerah tak termanfaatkan
Ia menyebutkan, apabila pemerintah pusat tidak memberikan dukungan anggaran, maka Pemprov terpaksa menunda sejumlah kegiatan non-prioritas agar dapat mengalihkan alokasi belanja untuk menggaji 11.737 P3K di lingkungan Pemprov Banten.
“Kalau pusat yang membiayai ya bagus. Tapi kalau daerah, berarti ada kegiatan yang kita tunda. Yang tidak prioritas kita tunda. Sehingga bisa membiayai P3K,” katanya.
Dimyati menyoroti adanya penurunan target pendapatan dalam APBD yang sebelumnya ditetapkan Rp11 triliun menjadi sekitar Rp10 triliun. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh kesalahan perhitungan dan perencanaan anggaran. “PAD nggak tercapai sesuai, malah berkurang. Jadi saya berharap di 2026 nggak boleh ada begini lagi,” ujarnya.
Baca juga: Demi tambah PAD Rp35 miliar, Pemprov Banten gratiskan mutasi kendaraan
Sementara itu, Dimyati mengingatkan para pegawai P3K agar tidak perlu khawatir dan tidak melakukan aksi unjuk rasa. “Kita jelas akan membayar P3K. Jadi nggak usah khawatir. Tenang saja. Nggak usah demo,” tegasnya.
Ia menyayangkan bila ada unjuk rasa dari pegawai P3K. “Kalau mereka demo, saya kecewa berat. Sakitnya itu di situ. Kami sedang berjuang mensejahterakan birokrat, memperhatikan pikirannya, kesehatannya, take home pay-nya, termasuk keluarganya,” kata dia.
Terkait hal itu, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Rina Dewiyanti menjelaskan bahwa struktur belanja mengalami perubahan karena adanya penambahan tarif P3K yang sebelumnya masuk dalam belanja barang dan jasa, kini masuk ke dalam belanja pegawai.
“Berpindahnya dari barang dan jasa ke belanja pegawai berimplikasi terhadap mandatory spending belanja pegawai yang maksimal 30 persen. Ini kita hitung kembali,” jelas Rina.
Baca juga: APBD 2025 Kota Serang masih bergantung dari transfer pemerintah pusat
Menurutnya, untuk menjaga agar belanja pegawai tidak melampaui ambang batas tersebut, terdapat dua skenario yang harus dihitung secara cermat, yakni meningkatkan pendapatan daerah atau melakukan evaluasi dan pengurangan belanja pegawai.
“Rumusnya jelas, kalau tidak pendapatan yang ditambah, ya belanja pegawai yang dikurangi,” katanya.
Rina menambahkan, hingga kini Pemprov masih mengacu pada alokasi dana spesifik (specific grant) dari pemerintah pusat sebesar Rp218 miliar, yang dinilai belum mencukupi kebutuhan hingga akhir tahun. “Hitungan kami kebutuhan anggaran P3K hampir Rp1 triliun,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah pusat dapat memberikan kucuran dana tambahan dari Bendahara Umum Negara (BUN) agar beban belanja pegawai tidak menekan struktur APBD lebih lanjut. “Kalau pusat sharing, bisa menurunkan persentase belanja pegawai. Mudah-mudahan,” tambahnya.
