Serang (ANTARA) - Anggota Komisi V DPRD Provinsi Banten, Yeremia Mendrofa, menyoroti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pengadaan barang habis pakai dan makanan/minuman (mamin) di RSUD Labuan dan RSUD Cilograng, yang dilakukan meski rumah sakit itu belum beroperasi.
“Kami menyayangkan ada temuan BPK berkaitan dengan pengadaan barang habis pakai dan makan minum di RSUD Labuan dan Cilograng. Artinya, ada kurang hati-hati, kekurangcermatan dalam proses pengadaan tersebut,” kata Yeremia di Serang, Rabu.
Yeremia mempertanyakan keputusan terburu-buru dalam pengadaan barang, terutama makanan/minuman, padahal kedua rumah sakit belum mulai beroperasi pada tahun 2024. Ia menilai hal ini menunjukkan lemahnya perencanaan dan kurangnya antisipasi terhadap kemungkinan penundaan operasional.
“Mengapa harus buru-buru melakukan pengadaan barang, khususnya yang habis pakai ini? Kalau tidak terjadi operasional di 2024, seharusnya diantisipasi dengan barang yang masa pakainya panjang, expiry lama,” ujarnya.
Baca juga: BPK soroti dana BOS dan aset RSUD dalam LHP Pemprov Banten 2024
Temuan BPK mengungkap bahwa sejumlah barang memiliki masa kedaluwarsa pendek dan berpotensi mubazir jika tidak digunakan segera.
Yeremia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam proses pengadaan, khususnya barang yang bersifat habis pakai.
Ia menegaskan bahwa tindak lanjut terhadap temuan BPK bersifat wajib dan harus diselesaikan dalam waktu 60 hari. “Sudah menjadi temuan BPK, wajib hukumnya melakukan tindak lanjut hasil rekomendasi dalam 60 hari. DPRD juga akan membahas dan menyampaikan rekomendasi dalam 30 hari,” ujar Yeremia.
Menurutnya, seluruh pihak yang terkait harus segera mengambil langkah perbaikan untuk memastikan tidak ada potensi kerugian negara.
Baca juga: Gubernur Andra Soni cari solusi tanggapi laporan rekrutmen RSUD bermasalah
Yeremia juga mengingatkan seharusnya koordinasi dengan Penjabat (Pj) Gubernur dilakukan sejak awal untuk memastikan kesiapan rumah sakit.
“Waktu itu harusnya koordinasi dengan Pj Gubernur, apakah rumah sakit ditargetkan beroperasi 2024 atau tidak. Tahapan seharusnya diselesaikan dulu sebelum melakukan pengadaan,” katanya.
Ia menilai, meski tidak bisa dikatakan sebagai unsur kesengajaan, proses ini menunjukkan lemahnya kontrol dan perencanaan anggaran.
“Kalau menurut saya, ini kurang hati-hati. Di anggaran perubahan, biaya RSUD sudah di-offset, termasuk biaya pegawai. Artinya rumah sakit tidak akan operasi di 2024,” ungkapnya.
Pengadaan barang, tambahnya, seharusnya mengikuti prosedur standar operasi (SOP) yang memperhatikan kondisi riil lapangan dan jadwal pelaksanaan program.
Baca juga: Pemprov Banten evaluasi rekrutmen pegawai RSUD yang sarat data invalid
Yeremia juga mengingatkan bahwa konsekuensi hukum dapat terjadi jika rekomendasi BPK tidak dijalankan. Ia menegaskan komitmen DPRD untuk terus mengawal proses tindak lanjut dan memastikan kejadian serupa tidak terulang.
Sebelumnya, BPK mencatat bahwa pengadaan makanan dan minuman untuk RSUD Cilograng dan RSUD Labuan senilai Rp1,89 miliar dilakukan saat rumah sakit tersebut belum mulai beroperasi. Belanja dilakukan oleh Dinas Kesehatan Banten melalui dua penyedia, yakni CV DPS dan CV PBS.
BPK menemukan bahan makanan yang dibeli memiliki tanggal kedaluwarsa yang dekat, termasuk produk susu UHT yang akan kedaluwarsa pada Juni 2025.
BPK dalam laporannya juga menyebut penggunaan anggaran tidak sesuai peruntukan karena belanja makanan dan minuman dimasukkan dalam pos Belanja Barang Habis Pakai (BHP), padahal rumah sakit belum beroperasi dan belum ada pasien yang dilayani.
Lebih lanjut, lembaga audit negara tersebut juga menemukan adanya markup harga dalam pengadaan makanan dan minuman. Harga barang dalam kontrak lebih tinggi dibanding harga pasar dengan selisih mencapai Rp251,7 juta.
Baca juga: Pemprov Banten klarifikasi temuan BPK soal pengadaan mamin RSUD