Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) mengembangkan program konservasi mangrove dengan menjalin kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
"Kami hari ini menandatangani Perjanjian Kerja sama (PKS) tentang Sinergi Program Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Banten," kata Direktur Eksekutif Yayasan Kehati Riki Frindos ndi Kantor Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Rabu.
Baca juga: Bersama Multipihak KEHATI Kembangkan Program Konservasi Mangrove Di Provinsi Banten
Baca juga: Bersama Multipihak KEHATI Kembangkan Program Konservasi Mangrove Di Provinsi Banten
Penandatanganan PKS Yayasan Kehati dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten bertujuan untuk menjamin sinergi pelaksanaan pengelolaan pesisir dan laut serta ekosistem di kawasan pesisir Provinsi Banten.
PKS berdurasi 1 tahun ini ditandatangani oleh Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten Eli Susiyanti.
Adapun kegiatan yang diatur dalam perjanjian, antara lain penelitian, pengembangan sumber daya manusia, publikasi dan penyebarluasan hasil penelitian.
Terkait restorasi ekosistem mangrove, total luas lahan diharapkan mencapai 14 hektare.
Kerja sama ini merupakan bagian dari Program Mangrove Blue Carbon yang merupakan konsep program konservasi dan rehabilitasi keanekaragaman hayati yang dirancang untuk mendukung program nasional dari pemerintah pusat yang masuk dalam program prioritas nasional (PPN) RPJMN 2020-2024 melalui Pembangunan Rendah Karbon (PRK).
Yayasan Kehati melalui Program Mangrove Blue Carbon mengajak semua pihak untuk bekerja sama membangun koordinasi dan sinergi tingkat daerah dan nasional untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan.
"Dengan kolaborasi dan sinergi multipihak diharapkan memberi manfaat dan dampak jangka panjang, utamanya pada fungsi ekologis, sosial ekonomi dan tata kelola hutan mangrove, serta mitigasi kebencanaan dan perubahan iklim,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Kehati Riki Frindos.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten Eli Susiyanti sepakat bahwa diperlukan peran serta seluruh elemen terutama masyarakat agar ekosistem mangrove tetap terjaga dan program konservasi yang dijalankan dapat terlaksana dengan baik.
Eli menambahkan bahwa rehabilitasi mangrove telah menjadi program nasional, mengingat luas hutan mangrove yang semakin menurun.
Pemerintah telah menetapkan program nasional rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare, termasuk di Provinsi Banten. Presiden RI pun telah mengangkat program mangrove ini dalam pertemuan G20 tahun 2022.
Pada saat yang sama, ada diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan oleh Tim Fakultas Pertanian Universitas Tirtayasa.
FGD diadakan untuk mendapatkan masukan dari pihak-pihak lain terkait pembentukan Dokumen Rencana Strategis dan Rencana Aksi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Provinsi Banten khususnya di Kawasan Sumur dan Panimbang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
Program ini selanjutnya akan dilakukan oleh Yayasan Kehati bersama mitra lokal dengan dukungan pendanaan PT Asahimas Chemical selama 5 tahun.
Pada diskusi yang dilakukan, Ketua Program Studi Perikanan, Fakultas Pertanian, Untirta Adi Susanto memaparkan studi pendahuluan dan perhitungan karbon mangrove di Provinsi Banten.
Hasil studi menunjukkan bahwa mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mampu menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar sehingga dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi.
Hasil studi menunjukkan bahwa mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mampu menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar sehingga dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi.
Potensi vegetasi mangrove dalam penyerapan karbon, yang dikenal dengan istilah Blue Carbon, dapat dioptimalkan dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
Luas ekosistem mangrove di Provinsi Banten diperkirakan mencapai 2.820,15 ha berdasar data BLHD Provinsi Banten 2019.
Studi tersebut menyatakan luasan tersebut diperkirakan terus mengalami laju degradasi yang disebabkan oleh banyak hal, di antaranya penebangan, alih fungsi lahan menjadi tambak, pemanfaatan berlebihan, abrasi, sedimentasi, pencemaran, maupun bencana alam.
Apabila degradasi tersebut terus berlanjut maka dalam kurun waktu 100 tahun ke depan ekosistem mangrove akan hilang dan akan menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida yang besar (Barakalla & Megawanto 2017).
“Oleh karena itu diperlukan upaya rehabilitasi ekosistem mangrove untuk menurunkan tingkat emisi CO2. Sayangnya, informasi mengenai nilai simpanan dan serapan karbon ekosistem mangrove khususnya di wilayah Provinsi Banten sampai saat ini masih sangat terbatas. Padahal, informasi tersebut sangat penting sebagai data dasar dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi ekosistem mangrove,” kata Adi.