JAKARTA (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan dampak dari perubahan iklim atau climate change akan sangat dahsyat, sama dengan COVID-19, sehingga semua negara harus berkontribusi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
“Saat ini dunia dihadapkan pada ancaman yang katastropiknya, dampaknya, konsekuensinya yaitu climate change. Kita sudah melihat berbagai studi menunjukkan dampak dari climate change itu akan sangat dahsyat,” ujar Menkeu Sri Mulyani saat webinar Climate Change Challenge yang diselenggarakan Universitas Indonesia (UI), Jumat.
Baca juga: Menkeu sebut butuh dana Rp3.461 triliun penuhi Perjanjian Paris
Menkeu Sri Mulyani mencontohkan dampak dari perubahan iklim yang telah terjadi di berbagai dunia seperti mencairnya es di kutub utara dan selatan serta perubahan iklim berupa kekeringan maupun hujan yang berkepanjangan.
Bahkan jika merujuk pada laporan yang digunakan sebagai referensi dalam pertemuan climate change dunia, saat ini suhu dunia 1,1 derajat celsius lebih hangat dibandingkan masa pra-industrialisasi.
Berdasarkan kajian tersebut, lanjut Sri Mulyani, meskipun semua negara melaksanakan Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi karbon, dunia tidak akan terhindar dari kenaikan suhu.
“Dunia akan tetap meningkat suhunya menjadi 3,2 derajat celsius dibandingkan pra-industri pada 2030. Ini berarti akan melewati batas yang oleh para ahli disebutkan kenaikan suhu maksimal yang bisa ditahan bumi yaitu 1,5 hingga 2 derajat celsius,” jelas Sri Mulyani.
Berkaca dari pandemi COVID-19 di mana negara maju sekalipun tidak siap menghadapinya, Sri Mulyani menekankan pentingnya kontribusi dan komitmen seluruh negara untuk menurunkan emisi karbon.
“Perlu target yang lebih ambisius. Kita terus melakukan keselarasan kebijakan-kebijakan untuk mencapai komitmen (Paris) tersebut atau bahkan lebih ambisius,” ujarnya.
Sri Mulyani menyampaikan Indonesia sebagai negara yang besar diminta untuk berperan aktif di dunia internasional dalam meminta komitmen negara-negara tetangga dan negara-negara maju dalam memenuhi konsekuensi sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan transformasi dari high carbon menjadi low carbon atau bahkan zero carbon emission.
Ia menyebutkan beberapa sektor memiliki peranan penting seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui deforestasi yang telah membuahkan hasil positif dengan mendapatkan dana kompensasi dari penurunan CO2 dari deforestasi, termasuk juga pekerjaan rumah di bidang energi terbarukan dengan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada 2025.
Adapun isu lingkungan hidup termasuk di dalamnya mengenai penurunan emisi karbon dan komitmen Perjanjian Paris merupakan agenda prioritas nomor enam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.