Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
SK ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2021 ditandatangani Firli. Untuk salinan yang sah, ditandatangani Plh. Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin.
Baca juga: Novel Baswedan nilai SK penonaktifan 75 pegawai tindakan sewenang-wenang
Ada empat poin yang tercantum dalam SK tersebut. Pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN.
Kedua, memerintahkan kepada pegawai sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Ketiga, menetapkan lampiran dalam keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.
Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Salinan keputusan tersebut disampaikan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Dewan Pengawas KPK, dan yang bersangkutan untuk diketahui dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sebelumnya, hasil TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK telah diumumkan pada tanggal 5 Mei 2021. Adapun yang memenuhi syarat (MS) sebanyak 1.274 orang, tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 75 orang, dan pegawai yang tidak hadir wawancara sebanyak dua orang.
Namun, dalam SK belum ada keputusan mengenai pemberhentian 75 pegawai tersebut. Selain itu, KPK sampai saat ini juga belum mengumumkan ke publik daftar nama 75 pegawai tersebut.
KPK pun menyebut 75 pegawainya itu bukan dinonaktifkan karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaiannya masih tetap berlaku.
KPK juga telah menyampaikan salinan SK tersebut kepada atasan masing-masing untuk disampaikan kepada 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Dalam surat tersebut, pegawai diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan langsung sampai dengan ada keputusan lebih lanjut sesuai dengan keputusan rapat pada tanggal 5 Mei 2021 yang dihadiri oleh pimpinan, dewan pengawas, dan pejabat struktural.
Masih Koordinasi
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan bahwa penyerahan tugas tersebut semata-mata untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK agar tidak terkendala dan menghindari adanya permasalahan hukum berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan.
Pelaksanaan tugas pegawai yang bersangkutan untuk selanjutnya berdasarkan atas arahan atasan langsung yang ditunjuk.
KPK pun mengaku saat ini sedang berkoordinasi secara intensif dengan BKN dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) terkait dengan tindak lanjut terhadap 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat tersebut.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan bahwa lembaganya tidak melempar tanggung jawab terhadap 75 pegawai tersebut, tetapi menyamakan persepsi dan berkoordinasi dengan BKN dan Kemenpan RB.
Adapun proses alih status berdasarkan peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, PP No. 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN serta Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.
Selain itu, pada tanggal 4 Mei 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memutus uji materi UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya terkait dengan dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Dalam putusan tersebut disebut: "Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut."
Berdasarkan putusan MK tersebut, Ghufron menegaskan sampai saat ini tidak ada satu pun pegawai KPK yang diberhentikan dari proses alih status tersebut.
Respons
Penyidik senior KPK Novel Baswedan menyebut SK terhadap 75 pegawai merupakan tindakan sewenang-wenang Firli.
"Itu SK tentang hasil asesmen TWK, bukan pemberhentian, melainkan isinya justru meminta agar pegawai dimaksud menyerahkan tugas dan tanggung jawab (nonjob). Menurut saya itu adalah tindakan Ketua KPK yang sewenang-wenang," kata Novel.
Hal tersebut, kata dia, dapat berimbas pada agenda pemberantasan korupsi ke depan. Selain itu, menunjukkan adanya ambisi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai yang berintegritas.
Dari daftar pegawai tidak lolos TWK yang sebelumnya telah beredar, diketahui terdapat nama-nama yang memiliki posisi strategis dalam penanganan kasus-kasus besar di KPK, termasuk Novel.
Atas adanya SK tersebut, Novel mengaku akan berdiskusi dengan para pegawai lainnya yang tidak lolos. Selain itu, kata dia, nantinya akan ada tim kuasa hukum dari koalisi masyarakat sipil yang mendampingi terkait dengan masalah tersebut.
Novel pun menilai TWK tersebut bukan proses yang wajar.
"Yang jelas ini gini, kami melihat ini bukan proses yang wajar, ini bukan seleksi orang tidak kompeten dinyatakan gugur, melainkan ini upaya yang sistematis yang ingin menyingkirkan orang bekerja baik untuk negara, ini bahaya. Maka, sikap kami jelas, kami akan melawan," kata Novel.
Novel pun sempat mengungkapkan beberapa pertanyaan yang dinilainya bermasalah dalam TWK tersebut, seperti: "Apakah Saudara setuju dengan kebijakan pemerintah tentang kebijakan tarif dasar listrik (TDL)?"; "Bila Anda menjadi ASN, lalu bertugas sebagai penyidik, apa sikap Anda ketika dalam penanganan perkara diintervensi, seperti dilarang memanggil saksi tertentu dan sebagainya?"; "Apakah ada kebijakan pemerintah yang merugikan Anda?"
Ia menilai pertanyaan-pertanyaan dalam TWK itu tidak cocok untuk menyeleksi pegawai negara/aparatur yang telah bekerja lama, terutama yang bertugas bidang pengawasan terhadap aparatur atau penegak hukum, apalagi terhadap pegawai KPK.
Menurut dia, TWK akan relevan untuk seleksi calon pegawai dari sumber fresh graduate. Namun, juga tidak dibenarkan menggunakan pertanyaan yang menyerang privasi, kehormatan, atau kebebasan beragama.
Sementara itu, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap akan melakukan konsolidasi pasca-SK tersebut untuk menentukan langkah selanjutnya.
Yudi yang juga dikabarkan tidak lolos TWK menegaskan seharusnya peralihan status tidak boleh merugikan hak pegawai sesuai dengan putusan MK atas uji materi UU KPK hasil revisi.
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menganggap SK tersebut bertentangan dengan pernyataan Ketua maupun pimpinan KPK sebelumnya. Menurut dia, ada inkonsistensi antara pernyataan dan sikap karena tidak memecat tetapi menonjobkan dalam SK itu.
Di satu sisi, kata Bambang, ada indikasi tidak solidnya sikap seluruh pimpinan KPK. Di sisi lainnya, tindakan yang tidak konsisten sudah dapat dikualifikasi sebagai tindakan pembohongan publik. Hal itu indikasi dari tindakan kriminal.
Ia menyatakan SK tersebut adalah kebijakan yang mengandung tindakan sanksi atau vonis. Tindakan tersebut bertentangan dengan putusan MK yang mensyaratkan tidak boleh ada tindakan yang merugikan insan KPK dari proses alih status tersebut.
Oleh karena itu, dia menilai kebijakan berupa tindakan nonjob menjadi sangat fatal karena hak keperdataan dan publik pegawai KPK sengaja dimatikan. Tindakan itu dapat disebut sebagai pelanggaran HAM.
"Lebih-lebih ini adalah hukuman yang sangat menyakitkan bagi orang profesional dan punya integritas sehingga layak disebut sebagai character assassination atau pembunuhan karakter," ucapnya.
Selain itu, tindakan itu juga melanggar prinsip penting yang tersebut di dalam asas UU KPK, yaitu akuntabilitas, kepastian hukum, dan kepentingan umum. Oleh karena itu, pembuat kebijakan juga harus dikualifikasi telah melakukan pelanggaran etik dan perilaku kelembagaan.
Hingga sekarang masih menunggu hasil koordinasi KPK dengan BKN dan Kemenpan RB terkait dengan nasib 75 pegawai KPK tersebut. Namun, setidaknya harus digarisbawahi jangan sampai TWK menjadi ajang, apalagi urusan dendam untuk menyingkirkan pegawai berintegritas yang telah lama berjuang memberantas korupsi maupun menangani kasus besar di KPK.
Polemik pasca keluarnya SK 75 pegawai KPK
Kamis, 13 Mei 2021 18:51 WIB
Ada empat poin yang tercantum dalam SK tersebut