Jakarta (ANTARA) - "Ayah sudah tidak ada, ibu juga sudah tidak ada, jadi saya hanya sama nenek, tapi saya tidak menyerah demi ayah dan ibu," kenang Arista dalam sorotan mata yang berkaca-kaca.
Dalam setiap tuturnya, menegaskan bahwa Arista sosok yang tidak mudah menyerah. Berpulangnya kedua orang tuanya tidak menyurutkan keinginan besar untuk belajar.
Baca juga: KPU Tangsel tetapkan nomor urut tiga paslon wali kota
Sejak kecil sekitar umur 5 tahun Arista sudah hidup bersama neneknya lantaran kedua orang tua Arista harus menyerah karena sakit yang didera.
Menginjak usia remaja, siswi 15 tahun dengan nama lengkap Aristawidya Maheswari harus menghadapi kekecewaan yang berat lantaran beberapa sekolah negeri setingkat SMA seantero Jakarta belum bisa menerima keinginannya belajar.
"Saya sempat sedih dan kecewa karena tidak bisa masuk SMA negeri, tapi nenak, ayah, dan ibu selalu jadi semangat saya," katanya.
Dijelaskan pula bahwa penyebab tidak diterimanya di sekolah negeri karena aturan batas nilai yang belum bisa dipenuhi. Padahal, jika dilihat kemampuan Arista, mencengangkan.
700-an prestasi
Arista secara nilai akademis tidak tergolong rendah, hanya saja batas nilai sekolah yang dituju memiliki batas bawah yang tinggi.
Namun, kemampuannya tampaknya sudah terlihat dari jiwa seninya. Lebih dari 700 prestasi berhasil dia dapatkan dari goresan-goresan cat di atas kanvas.
Melukis merupakan hobinya yang dapat menghilangkan berbagai kesedihan serta hal yang tidak menyenangkan. Melalui lukisan dia bisa mengekspresikan emosi yang dirasakan.
Lebih dari 700 prestasi dari seni lukis dia kumpulkan dari imajinasinya dalam setiap warna. Fakta lebih dari 700 prestasi yang dia dapat, tampaknya tidak mampu menarik perhatian SMA negeri untuk dapat membukakan pintu bagi siswa/siswi berbakat dalam hal kreativitas, seolah akademis adalah kartu mati dalam pendidikan.
"Saya sayangkan prestasi saya tidak diakui oleh sekolah negeri, sampai-sampai saya datangi ke DPR bersama kawan-kawan yang memiliki nasib seperti saya," ujarnya.
Membahas mengenai lukisan, dia amat gemar melukis pemandangan alam. Arisat mengaku tidak mendapatkan pendidikan seni lukis dari bimbingan profesional.
Kemampuan tersebut didapatnya secara autodidak karena sejak kecil memang suka menggambar dan mewarnai.
Dari prestasi tingkat kota hingga nasional pernah dia raih. Kini, Arista sementara bersekolah di SMA swasta. Namun, dia menegaskan tetap ingin mencoba lagi masuk di sekolah negeri yang dia inginkan.
Sembari menunggu kesempatan tahun depan, dia menekuni dunia seni lukis dengan lebih serius. Bahkan, dia mencanangkan ingin suatu saat dapat membuka pameran yang menampilkan karya-karyanya.
"Aku bercita-cita jadi pelukis, bukan desainer, melainkan pelukis kanvas yang nantinya akan membuka galeri untuk pameran di dalam negeri, bahkan nanti ingin bisa pameran di luar negeri yang membawa nama baik bangsa," katanya dalam diskusi di ruang Redaksi Kantor Berita Antara.
Anak Istimewa
Siwi, nenek Arista, mengaku bangga atas sikap dan capaian cucunya dalam menghadapi permasalahan. Dia senang atas prestasi cucunya walaupun belum berkesempatan bersekolah di SMA negeri.
"Arista anak yang istimewa, dikaruniai semangat dan bakat yang lebih dari anak-anak seusianya, saya hanya bisa mendorong semangatnya," ujar Siwi saat mendampingi Arista.
Air mata pun mengalir di wajah Siwi saat dia mulai mengingat masa kecil Arista yang tidak banyak mendapatkan kasih sayang kedua orang tua.
Pengakuan Siwi, Arista bukan anak yang manja dan cengeng dalam menghadapi masalah, bahkan saat ditinggalkan kedua orang tuanya.
Terkait dengan masa depannya, Siwi tidak ingin memberikan beban yang lebih pada cucunya. Dia hanya mengarahkan sesuai dengan bakat dan minat dari Arista.
"Kalaupun nanti harus kuliah, saya arahkan kuliah di bidang seni saja agar dia bisa mengasah kemampuannya lebih matang," kata nenek Arista itu.
Siwi berharap dinas pendidikan atau bahkan Kementerian Pendidikan bisa memberikan ruang bagi anak yang memiliki bakat seperti Arista.
Ruang yang dimaksud adalah bukan hanya difasilitasi untuk mengenyam pendidikan akademis, melainkan sisi kreativitas dan pengembangan bakat harus diberikan porsi yang sama mengingat kelebihan setiap anak tidaklah sama.
Nenek Arista juga mengaku sempat ditawari banyak beasiswa bagi cucunya untuk dapat diterima di sekolah-sekolah swasta terbaik di Jakarta. Namun, Siwi mengaku saat ini hanya memberikan kesempatan bagi Arista untuk dapat mengembangkan bakat melukisnya.
Siwi melihat ada sisi positif ketika cucunya belum diterima di sekolah negeri. Dia melihat bahwa kemampuan cucunya lebih berkembang di bidang seni sehingga tidak meredup oleh pendidikan kelas yang banyak menuntut nilai rapor dan mata pelajaran teori.
"Sisi positif bagi kami adalah, dia lebih bisa mengenal dirinya sendiri, dan dapat belajar bangimana mengembangkan kemampuan diri meski tidak harus seperti jalur pendidikan formal lainnya, bakat seperti Arista harus terus diasah dan dikembangkan," kata Siwi.
Ia juga berpesan kepada orang tua lain jika melihat bakat anaknya bukan di bidang akademis tidak perlu berkecil hati. Hal tersebut justru harus didukung dengan sepenuh hati karena anak-anak tidak baik jika dipaksakan mengikuti kehendak orang tua.