Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia saat ini terus terlibat aktif dalam memenuhi Paris Agreement melalui pelaksanaan berbagai kebijakan seputar Energi Baru Terbarukan (EBT).
Kebijakan ini merupakan bentuk tanggung jawab dalam mengontrol konsumsi energi masyarakat, sehingga menciptakan pembangunan yang berkelanjutan serta terpenuhinya energi yang terjangkau untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Seperti dipaparkan Ir. Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk mendukung pengembangan EBT dan memenuhi tercapainya bauran energi 23% sesuai dengan kebijakan energi nasional tahun 2025, pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan.
Baca juga: Pemerintah Diminta Wujudkan Energi Baru Dan Terbarukan
Sejauh ini kebijakan yang dipergunakan mulai dari Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Serta Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Kemudian juga Kepmen ESDM No. 39 K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan Rencana Umum Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019-2028 pada Diktum Kelima
Disebutkan di dalamnya untuk mendorong percepatan pencapaian target bauran energi terbarukan, dapat dilakukan penambahan pembangkit tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan di luar rincian RUPTL PLN 2019-2028 sesuai dengan kebutuhan sistem tenaga listrik setempat.
Terkait dengan komitmen komposisi EBT untuk bauran energi tahun 2025 sebesar 23%, Wanhar merinci target tersebut akan dipenuhi melalui PLTA 10,4%, PLTP dan EBT lainnya sebesar 12,6%.
Melalui RUPTL 2019-2028 PT PLN (Persero), Kementerian ESDM telah menginstruksikan PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini, target penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga 2028 adalah 16.765 MW.
Baca juga: Wagub Banten pastikan listrik masuk pulau kecil berpenghuni
RUU EBT
Terkait target tersebut, saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). RUU EBT ini menjadi langkah untuk segera meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil, dan beralih ke energi baru terbarukan, sebutlah geothermal.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Ridwan Hisyam, materi RUU ini sudah masuk Prolegnas dan diharapkan sudah mulai dibahas oleh anggota DPR baru pada Oktober nanti.
Menurut dia sementara sebelum undang-undang itu ada, sebaiknya Kementerian ESDM lebih fokus mendorong program-program EBT.
Wanhar mengakui, peluang Pengembangan EBT di Indonesia masih terbuka lebar. Beberapa kondisi yang memperlihatkan peluang tersebut di berbagai daerah.
Seperti rasio elektrifikasi di daerah Timur Indonesia masih bisa ditingkatkan, harga solar panel yang akan semakin kompetitif, pembangunan PLTB skala kecil yang cocok untuk daerah kepulauan, feedstock (untuk biomass/biogas) masih melimpah di beberapa daerah.
Kemudian pertimbangan lain keterlibatan masyarakat dalam penyediaan feedstock, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN), proyek hidro masih efisien sehingga tarif di sekitar biaya pokok penyediaan (BPP) masih dapat diterima.
Perjanjian jual beli tenaga listrik panas bumi dilakukan setelah ada cadangan terbukti/hasil eksplorasi, serta peningkatan penerasi EBT melaluai smart grid dan control system.
Namun begitu, pengembangan EBT juga menghadapi beberapa tantangan. Seperti BPP di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah, sehingga harga keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP.
Beberapa daerah memiliki kapasitas terpasang yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil.
Sebaliknya, ada juga daerah yang sulit menerima EBT karena alasan sudah terjadi over supply. Selain itu daerah yang memiliki potensi energi yang baik relatif sedikit, namun dengan harga merujuk ke BPP dirasa kurang menarik bagi pengembang. Di luar itu, biaya eksplorasi (PLTP) terutama untuk drilling yang cukup besar ternyata, rasio tingkat keberhasilannya kecil.
Sampai saat ini, jelas Wanhar, Pemerintah sudah menandatangani beberapa komitmen terkait pengembangan EBT. Dalam Progres IPP PPA Tahun 2017 s.d. 2018 terdapat 75 kontrak yang sudah melakukan penandatanganan pembangkit EBT (PPA) dengan rincian 7 tahap COD, 32 tahap konstruksi, dan 36 dalam proses persiapan financial close.
Swasta dilibatkan
Dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut di atas, dan untuk memenuhi kondisi ketenagalistrikan nasional, pihak swasta juga terlibat didalamnya, seperti dalam pengembangan EBT oleh pihak swasta 8.808 MW (66,6 %) dari total kapasitas 13.232 MW yang akan dikembangkan.
Dengan diterapkannya teknologi efisiensi tinggi dan rendah emisi pada pembangkit listrik tersebut, maka konsumsi bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik akan berkurang, sehingga berdampak mengurangi efek gas rumah kaca, emisi gas buang, dan pencemaran lingkungan hidup. Di samping itu secara ekonomis, maka penurunan penggunaan bahan bakar fosil akan menghemat APBN.
Selain penerapan teknologi efisiensi tinggi dan rendah emisi, pihak swasta juga menerapkan berbagai kegiatan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, contohnya menerapkan kebijakan konservasi energi dan manajemen energi di gedung pembangkit listrik. Dalam rangka mengurangi PS (pemakaian sendiri) energi listrik, maka pembangkit listrik menggunakan sumber EBT seperti PLTS sebagai sumber energi listrik.
Dalam rangka menurunkan emisi non GRK dari kegiatan pembangkit listrik khususnya batubara, pembangkit listrik yang dimiliki oleh pihak swasta juga telah memasang teknologi pengendalian pencemaran udara (PPU), seperti beberapa unit pembangkit telah memasang Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk menurunkan kandungan sulfur pada gas buang, dan hampir semua PLTU telah dilengkapi Low NOx Burner.
Indonesia sebagai salah satu Negara pendiri ASEAN, juga aktif dalam kerjasama energi ASEAN. Melalui forum Renewable Energy Sub-Sector Network (RE-SSN) dan dipandu dokumen ASEAN Plan of Action on Energy Cooperation (APAEC) 2016-2025, Fase I (2016-2020), juga dalam pertemuan ASEAN Minister Meeting on Energy (AMEM) telah dilaporkan capaian target RE Indonesia tersebut hingga mid-term review tahun 2018 adalah sebesar 12,4%.
Hadapi Dilema
Prof. Iwa Garniwa Mulyana, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) memahami dilema yang dihadapi Pemerintah dalam upaya membangun kelistrikan nasional berkualitas dengan harga terjangkau bagi masyarakat.
Saat ini listrik yang harganya terjangkau masih mengandalkan batu bara. Sementara listrik yang tenaganya menggunakan air ataupun energi panas bumi (geothermal) sebenarnya bisa diandalkan, tetapi banyak kendalanya, dan pembangunannya juga membutuhkan biaya besar. Solar cell dan angin sifatnya tidak berkesinambungan, dan bersifat intermiten sehingga PLN harus tetap menyiapkan pembangkit lainnya, sehingga memerlukan juga back up pembangkit lain sebagai power based.
Dengan demiikian, energi yang tadinya murah menjadi tidak murah lagi, karena harus didukung sistem pembangkit lain. Alhasil, harga akhirnya juga tidak ketemu antara yang diinginkan pemerintah dengan kondisi pasar, ujar dia.
Baca juga: Bantuan listrik gratis 11.000 rumah di NTT berhasil dinyalakan