Jakarta (Antaranews) - Sekjen Projo (Ormas Pro Jokowi), Handoko mengatakan pemerintah diminta segera mewujudkan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk itu paradigma pengelolaan energi juga harus diubah.
"Paradigmanya harus diubah yakni dari energi sebagai komoditas menjadi energi sebagai penggerak roda ekonomi," kata Handoko di Jakarta, Jumat, yang juga sebagai pemerhati dibidang energi.
Handoko melihat sumber EBT di dalam negeri sangat melimpah sehingga sudah selayaknya dimanfaatkan secara maksimal, akan tetapi kendala yang dihadapi juga tidak kecil salah satunya teknologinya yang mahal serta masih harus didatangkan dari luar negeri (impor).
Handoko mengatakan, agar EBT dapat dikembangkan maka penguasaan teknologi juga harus mendapatkan prioritas tidak lagi tergantung luar negeri.
Menurut dia, dari sisi energi primer, saat ini lebih dari 70 persen pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batubara.
"Melimpahnya batubara dalam negeri membuat PLTU Batubara (Coal Fired Power Plant/ CFPP) menjadi kontributor terbesar dalam konfigurasi pembangkit kita. Memang dalam jangka pendek, PLTU Batubara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga," ujar dia.
Namun harus diingat keberadaan batubara dan minyak bumi semakin berkurang dan habis pada akhirnya. Volatilitas harga minyak dunia yang sangat dinamis dan selalu berkait dengan harga komoditas batubara, juga akan turut mengerek harga jual listrik. Bayangkan saja bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai 100 dolar AS per barrel tentunya biaya produksi listrik akan meningkat tajam, ujar dia.
"Beda kondisinya kalau Indonesia mengandalkan penggunaan listrik yang pembangkitnya digerakkan oleh tenaga angin, air, atau juga tenaga matahari dan panas bumi," ujar dia.
Menurut Handoko yang juga praktisi bisnis pembangkit listrik, Indonesia sudah cukup lama menguasai teknologi EBT sayangnya pemanfaatannya masih sangat kecil.
"Kita punya pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga minihidro). Juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/ Geothermal. Sungai-sungai di Indonesia menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 GW. Begitu juga posisi Indonesia yang berada di area ring of fire Asia Pasifik, yang menjadi tempat bertemunya sejumlah gunung berapi yang masih aktif di wilayah Asia Pasifik, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi geothermal terbesar ke-2 di dunia setelah Amerika Serikat, dengan potensi lebih dari 28 GW. Namun pemanfaatannya masih sangat kecil," ujar dia.
Handoko mengatakan harus diakui harga jual listrik, PLTU Batubara memang paling murah. Saat ini PLN bisa membeli dengan harga 5 cent dolar AS per kWh dari Independent Power Producer (IPP) tetapi harus diingat harga batubara fluktuatif, dan juga tidak ramah lingkungan.
Sedangkan pembangunan PLTA harganya mahal, antara lain karena porsi pekerjaan sipil (civil work) yang besar, seperti pengerjaan bendungan dan penstock (pipa pesat) serta lokasinya yang sulit diakses. Tetapi energi primernya bisa diperoleh dengan gratis dan bisa dibangun beberapa pembangkit dalam satu aliran sungai dalam jarak yang berdekatan (cascade/ berjenjang) dengan memanfaatkan perbedaan elevasi, kata Handoko.
Handoko menjelaskan, kalau selama ini, banyak masalah yang harus dihadapi para investor untuk membangun pembangkit listrik, mulai dari pengurusan perizinan, pembebasan lahan, atau juga isu sosial yang melibatkan masyarakat sekitar, karena lokasi pemukimannya akan dijadikan bangunan pembangkit.
Terkait hal itu, tambah Handoko, pemerintahan Jokowi – JK telah membuat berbagai terobosan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, mulai pemangkasan birokrasi perizinan hingga kebijakan-kebijakan yang mempermudah investasi.
Belanja Modal (Capex)
Menyinggung soal belanja modal (Capex/ Capital Expenditure), pembangkit listrik EBT masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil. PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar 4 juta dolar AS per MW, jauh lebih mahal dibanding PLTU Batubara yang sekitar 1,5 - 2 juta dolar AS per MW. Perbedaan Capex ini disebabkan masing-masing komoditi ini berbeda cara memperolehnya, dan juga tingkat kesulitannya.
"Seperti listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi sudah memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah. Ketika anda mengeksplorasi sebuah lapangan geothermal dan melakukan pengeboran, tingkat keberhasilannya tak lebih dari 20 persen,” papar Handoko.
Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS/ Solar Cell) sangat besar. Sebab untuk pembangunan PLTS dibutuhkan investasi sekitar Rp28 miliar, di mana komponen terbesarnya adalah pada biaya produksi panel surya dan baterai. Selain itu, PLTS juga membutuhkan area yang sangat luas, serta hanya dapat beroperasi di siang hari.
"Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan Solar Cell semakin masif, seiring dengan semakin majunya teknologi panel surya dan baterai,” tambahnya.
Sebagai cantolan hukum, Pemerintah sudah punya Perpres No. 2 tahun 2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Dari sana ditetapkan target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23 persen, dan tahun 2018 ini sudah mencapai 12,5 persen.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pengembangan EBT tetap memperhatikan keseimbangan supply – demand, kesiapan sistem dan keekonomian.
Sementara itu PT PLN (Persero) akan memanfaatkan sumber energi terbarukan dari jenis energi aliran dan terjunan air, energi panas bumi (termasuk skala kecil/modular), biofuel, energi angin, energi sinar matahari, biomassa dan sampah, serta mendukung upaya RE-BID (Renewable Energy Based on Industrial Development).
Khusus mengenai PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), dilakukan dengan pengembangan centralized PV (Photovoltaic system), guna melistriki banyak komunitas terpencil yang jauh dari grid pada daerah tertinggal, pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara tetangga dan pulau-pulau terluar lainnya.
Pemerintah Diminta Wujudkan Energi Baru Dan Terbarukan
Jumat, 27 Juli 2018 12:11 WIB
Untuk mewujudkan teknologinya masih mahal serta harus didatangkan dari luar negeri