Sinjai (ANTARA) -
Menghasilkan sesuatu yang besar tidak selamanya harus dilakukan secara masif dan bermodal besar. Hal itu sudah dibuktikan dengan keberadaan hutan mangrove (bakau) Tongke-Tongke di Desa Tongke-Tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Sulawesi Selatan.
Kawasan hijau seluas 173,5 hektare yang terletak sekitar 7 kilometer dari pusat kota Sinjai ini merupakan hutan mangrove terluas dan terapat di Indonesia. Tak heran jika 25 tahun kurun waktu perjalanan hutan mangrove Tongke-Tongke ini pun telah menjadi referensi destinasi ekowisata nasional.
Awal kisah keberadaan hutan mangrove Tongke-Tongke ini berangkat dari asa sederhana seorang lelaki Desa Tongke-Tongke bernama H Taiyeb. Desa yang menjadi tempatnya berpijak bersama warga lainnya kerap diterpa banjir rob dan hantaman ombak besar menyapu bibir pantai.
Kondisi itu memicu Taiyeb mencari cara bertahan hidup di desanya tanpa lari dari masalah. Suatu ketika ia pun mengamati desa tetangga yakni Desa Samataring yang memiliki banyak tambak dan dipagari pohon mangrove. Lalu menanyakan cara menanam setelah meminta beberapa bakal bibit tanaman mangrove.
Berangkat dari pengetahuan praktis dan sederhana, Taiyeb bersama 17 warga Desa Tongke-Tongke mulai menanam mangrove di sepanjang bibir pantai di desanya.
"Awalnya memang banyak kendala, tidak semuanya tumbuh dengan baik, tapi kami tidak putus asa, kami mencoba dan terus mencoba," tutur lelaki yang kini sudah menyandang status kakek berusia 85 tahun dengan 10 orang cucu.
Kegigihan Taiyeb bersama rekannya-rekannya pun akhirnya membuahkan hasil setelah empat tahun mengembangkan tanaman bakau di desanya dan akhirnya pada tahap awal sudah menghasilkan hutan bakau "kecil" seluas 90 hektare.
Tak pernah terpikirkan bahwa suatu ketika hasil jerih payahnya ini kemudian dilirik oleh pemerintah dan akhirnya diundang ke Istana Negara mendapatkan penghargaan bidang lingkungan "Kalpataru" oleh Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto pada 1995.
Penghargaan itu, tak membuatnya berpuas diri namun menjadi pemacu untuk berbuat lebih banyak dalam mengembangkan hutan mangrove Tongke-Tongke yang akhirnya mencapai sekitar 173,5 ha berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai pada 2017.
Taiyeb pun kebanjiran undangan untuk membantu pembibitan dan pengembangan tanaman mangrove di kabupaten lain di Sulsel di antaranya di Kabupaten Wajo, Kota Parepare hingga keluar Provinsi Sulsel yakni di Timika, Papua.
"Saya diajak Prof Nurdin dari Universitas Hasanuddin untuk menanam bakau di Timika selama tiga bulan di sana dan saat itu dibantu 12 orang Papua," kenangnya sembari mengimbuhkan pihaknya membawa 57 ribu bibit mangrove ke Papua.
Selalu ada kepuasan batin ketika membantu daerah lain mengembangkan hutan mangrove, berbagi pengetahuan dan pengalaman tanpa takut hutan mangrove Tongke-Tongke yang dirintisnya mendapat pesaing baru.
Dia mengaku, hanya ingin menular asa yang dimilikinya untuk menjaga lingkungan dan daerah dari bencana abrasi dan banjir rob. Mengembangkan bibit dan terus menanam tanaman mangrove sudah menjadi jalan hidupnya.
"Setidaknya apa yang kami lakukan ini dapat dinikmati bersama, sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi warga desa, khususnya janda-janda untuk menyekolahkan anaknya dari hasil pembibitan mangrove," kata Taiyeb.
Kini hutan mangrove yang diprakarsai Taiyeb telah menjadi kawasan Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove (PRPM) Tongke-Tongke, sehingga selain menjadi objek ekowisata juga menjadi laboratorium bagi para peneliti baik dalam dan luar negeri.
Pasalnya, hutan mangrove ini juga menjadi tempat berkembangnya biota laut, di antaranya adalah kepiting bakau, udang dan ikan-ikan kecil untuk bertelur sebelum ke laut lepas.
Mulai bersolek
Hutan mangrove Tongke-Tongke yang menjadi destinasi wisata andalan Pemerintah Kabupaten Sinjai dan Sulawesi Selatan, sejak pengelolaannya dialihkan ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sinjai 2017, secara bertahap kawasan hijau ini mulai dibenahi.
Bantuan pun mulai mengalir. Pada 2017 Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ketika berkunjung di kawasan wisata mangrove Tongke-Tongke melihat kondisi jembatan kayu untuk menelusuri hutan itu, sudah mulai lapuk dan akhirnya membantu dengan jembatan kayu melingkari hutan tersebut.
"Kemudian untuk mengoptimalkan kawasan wisata itu, pada 2018 diujicobakan menarik retribusi dengan karcis masuk seharga Rp5.000 per orang," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai Yuhadi Samad.
Hasil retribusi itu yang kemudian masuk ke kas daerah pada akhir 2018 tercatat sekitar Rp300 juta, suatu angka yang di luar dugaan bagi pihak Pemkab Sinjai. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari kawasan wisata mangrove Tongke-Tongke diyakinkan ke masyarakat untuk dikembalikan untuk pengembangan dan penambahan fasilitas di lokasi tersebut.
Kepedulian konservasi hutan mangrove di Desa Tongke-Tongke ini, termasuk untuk pengembangan objek wisatanya, lanjut Yuhadi, Pemkab Sinjai mendapatkan dukungan dana dari Kementerian Pariwisata pada 2019 sebesar Rp2,1 miliar lebih melalui dana alokasi khusus (DAK).
Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan tambahan sarana dan prasarana di Tongke-Tongke seperti lokasi tracking, kawasan kuliner dan pos informasi.
Selain dana dari Kementerian Pariwisata, Pemkab Sinjai juga memperoleh dana dari Pemrov Sulsel sebesar Rp1 miliar untuk melengkapi sarana dan prasarana yang ada di lokasi itu.
Pihak Bank Indonesia di Sulsel juga siap membantu melestarikan dan mengembangkan kawasan hutan mangrove tersebut. Saat ini masih dalam tahap penjajakan.
Menurut dia, sebelum melakukan pembangunan dilakukan studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan setelah rampung diprediksi pada Juli 2019 pengerjaan proyek dari dua mata anggaran itu sudah berjalan, dengan memprioritaskan pekerjanya dari warga setempat.
Setidaknya kelak akan ada pusat jajanan/kuliner dengan memberdayakan 30 - 40 orang warga setempat, termasuk pusat penjualan cenderamata yang dapat menyerap sekitar 20 orang tenaga kerja.
Dengan pelibatan semua stakeholders termasuk instansi terkait, diharapkan pelatihan keterampilan, penambahan wawasan terkait layanan wisata kepada warga Desa Tongke-Tongke akan menjadi bekal utama dalam menjemput asa dari optimalisasi destinasi wisata mangrove ini.
Melalui peningkatan 'capacity building' ini, warga Desa Tongke-Tongke dan sekitarnya memperoleh imbas positif dalam meningkatkan kesejahteraannya dan sekaligus pemerintah daerah menerima PAD lebih besar lagi dari hasil kunjungan wisatawan.
Bupati Sinjai Andi Seto Gadhista Asapa bersama wakilnya Andi Kartini Ottong sendiri telah menargetkan fokus pembangunan Kabupaten Sinjai pada masa kepemimpinannya 2018 - 2023 untuk memajukan sektor pariwisata yang bersinergi dengan sektor pertanian dan kelautan.
Alasannya, Kabupaten Sinjai yang terdiri dari wilayah daratan, pesisir dan pegunungan memiliki potensi yang kompleks untuk dikembangkan secara terintegrasi.
Kini asa demi asa yang terkumpul dari masyarakat dan pemerintah Kabupaten Sinjai, Sulsel tinggal menunggu realisasi dan pembuktian dari sejumlah program yang ada.
Menitip harapan di hutan mangrove Tongke-Tongke
Senin, 17 Juni 2019 11:23 WIB
Kawasan hijau seluas 173,5 hektare yang terletak sekitar 7 kilometer dari pusat kota Sinjai ini merupakan hutan mangrove terluas dan terapat di Indonesia. Tak heran jika 25 tahun kurun waktu perjalanan hutan mangrove Tongke-Tongke ini pun telah menja