Nelayan tradisional di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten sejak sepekan terakhir ini tidak melaut akibat angin selatan sehingga gelombang cukup tinggi hingga mencapai empat meter.
"Kita selama tidak melaut memperbaiki jaring rampus yang kondisinya banyak ditemukan kerusakan," kata Saliman (55) seorang nelayan Binuangeun Kabupaten Lebak, Minggu.
Kebanyakan nelayan tradisional yang tidak melaut itu, karena memasuki musim angin selatan dan memicu gelombang tinggi. Kondisi ini membuat tangkapan ikan relatif kecil dan tidak sebanding dengan biaya operasional.
Biaya operasional untuk membeli bahan bakar minyak dibutuhkan sebanyak 20 liter atau Rp200 ribu sekali jalan.
"Jika pendapatan relatif kecil juga ditambah cuaca buruk tentu lebih baik tidak melaut," kata Sariman.
Baca juga: BMKG: waspadai gelombang tinggi termasuk Selat Sunda
Baca juga: BMKG: waspadai gelombang tinggi termasuk Selat Sunda
Hal sama dikatakan Tarja. Nelayan berusia 60 tahun mengatakan dirinya juga tidak berani melaut karena memasuki angin selatan. Apalagi nelayan di sini menggunakan perahu kincang dengan mesin motor tempel yang dipastikan tidak kuat menahan gelombang 4 meter.
Mereka nelayan jika memaksakan melaut risikonya cukup besar, selain bisa mengakibatkan kecelakaan juga tangkapan ikan kosong.
Pada musim angin selatan kebanyakan jenis ikan tongkol, cakalang, selayaran, jangilus, canggi, bagas, tedeng, lempet, pepeperek, bilis, singgreng dan kerong-kerong ke tengah laut.
Baca juga: Nelayan Lebak berharap perdagangan benur kembali dilegalkan
Kepala Pangkalan Pelabuhan Ikan ( PPI) Binuangeun Kabupaten Lebak Ahmad Hadi mengatakan nelayan yang tidak melaut itu kebanyakan nelayan kecil yang menggunakan perahu mesin tempel untuk menghindari kecelakaan laut.
Sebab, cuaca di Perairan Selat Sunda bagian selatan atau Samudera Hindia memasuki angin selatan.
"Kami memperkirakan nelayan yang tidak melaut itu sekitar 1.500 orang," katanya menjelaskan.
Ia menyebutkan, saat ini, cuaca buruk yang melanda Perairan Selat Sunda bagian selatan nilai tangkapan ikan rata-rata 200 ton dengan nilai perputaran uang Rp3 miliar/bulan.
Sebab, nelayan kapal di atas bobot kekuatan 10 grooston (GT) masih beroperasi dengan jelajah di lima mil dari pantai.
"Kami berharap cuaca kembali normal dan nelayan tradisional kembali melaut," katanya menjelaskan.