Jakarta (ANTARA) - Peneliti Senior Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Profesor Achmad Syawqie mengatakan pentingnya untuk mencari cara menurunkan prevalensi perokok di sejumlah negara termasuk Indonesia.
Menurut Syawqie pada acara virtual Asia Harm Reduction Forum 2021 serangkaian cara yang dilakukan pemerintah Indonesia seperti meninggikan tarif cukai, kampanye anti rokok, regulasi ketat lainnya dinilai belum efektif.
Syawqie mengatakan salah satu upaya menurunkannya bisa menggunakan produk tembakau alternatif rendah risiko terutama bagi perokok dewasa yang memang ingin berhenti.
Produk ini menerapkan konsep pengurangan bahaya sehingga mampu mengurangi risiko 90 sampai 95 persen dibandingkan rokok.
Tingkat risiko pada produk ini berkurang karena tidak adanya proses pembakaran seperti pada rokok, sehingga tidak menghasilkan TAR. Dimana TAR adalah zat yang mengandung berbagai senyawa karsinogenik yang dapat memicu kanker.
“Dengan inovasi dan perkembangan teknologi, perokok dewasa tetap dapat memenuhi kebutuhan nikotinnya tanpa adanya TAR yang berbahaya melalui rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, snus, dan produk tanpa asap lainnya. Meskipun tidak sepenuhnya bebas risiko, bukti-bukti ilmiah terus menunjukkan bahwa produk ini memiliki kadar bahaya yang lebih rendah daripada rokok,” ungkapnya.
Syawqie melanjutkan YPKP sudah melakukan kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif. Dalam riset berjudul "Pengurangan Bahaya Tembakau dan Studi Potensi Genotosik melalui Perhitungan Frekuensi Mikronukleus pada Apusan Sel Mukosa Bukal", hasil penelitian menunjukkan bahwa perokok aktif memiliki jumlah inti sel kecil dalam kategori tinggi sebanyak 145,1. Adapun pengguna produk tembakau alternatif dan non-perokok masuk dalam kategori normal yang berkisar pada angka 76-85.
Jumlah inti sel kecil yang semakin banyak menunjukkan ketidakstabilan sel yang merupakan indikator terjadinya kanker di rongga mulut. Hasil memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara jumlah inti sel kecil pada pengguna produk tembakau alternatif dengan non-perokok dan dua kali lebih rendah dari pada perokok aktif.
"Sebagai dokter gigi dan ilmuwan, saya berharap negara-negara Asia dapat memanfaatkan penggunaan produk tembakau alternatif yang lebih kecil risikonya, seperti yang sudah dilakukan Jepang dan Inggris. Dengan kehadiran produk tersebut, jumlah perokok di negara tersebut berkurang," ujar Syawqie.
Berdasarkan hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, angka perokok pria turun di bawah 30% untuk pertama kalinya menjadi 28,8% pada 2019. Adapun menurut Badan statistik Inggris, angka perokok mengalami penurunan dari 14,4% pada 2018 lalu menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019.
Syawqie berharap Pemerintah Indonesia dan pemangku kebijakan lainnya mendukung penggunaan produk tembakau alternatif. Selain itu, dukungan terhadap produk ini perlu diperkuat dengan regulasi berlandaskan kajian ilmiah, seperti yang dilakukan Jepang dan Inggris.
"Keberhasilan kedua negara tersebut dapat menjadi landasan bagi pemerintah untuk mulai memberdayakan produk tembakau alternatif. Pemanfaatan produk ini diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas kesehatan publik," ujarnya.
Peneliti penting mencari cara turunkan prevalensi perokok
Selasa, 29 Juni 2021 21:28 WIB
Pengguna produk tembakau alternatif dan non-perokok masuk dalam kategori normal yang berkisar pada angka 76-85.