Jakarta (ANTARA News) - Ada kutukan dosa tujuh turunan. Ada berkah nikmat tujuh turunan. Itu anggapan yang diidap oleh masyarakat Indonesia, termasuk para pejabat, sampai sekarang.
Seseorang diikutsertakan dosa orang tuanya. Itu contoh gara-gara kutukan tujuh turunan. Yang berikut ini contoh berkah nikmat tujuh turunan: anak seorang tokoh dianggap sama hebatnya dengan orang tuanya.
Semua itu gara-gara kebiasaan "malas berpikir" atau "cupet" nalar dan cari gampangnya. Kebiasaan berpikir seperti itu disebut sterotyping, stigmatisasi, generalisasi atau "gebyah uyah" dalam bahasa Jawa. Bisa juga itu akibat dendam kesumat.
Itu mewujud, misalnya dalam pelarangan anak tokoh atau anggota partai terlarang (karena dianggap musuh pemerintah) untuk menjadi pegawai negeri, anggota TNI/Polri (dulu ABRI), dan karyawan/anggota lembaga/organisasi yang dianggap vital.
Gerak-gerik mereka diawasi ketat, KTP mereka diberi tanda khusus. Sebaliknya, anak tokoh, sekalipun belum teruji kemampuannya, cenderung diangkat menjadi tokoh, mewarisi posisi orang tuanya.
Anak keturunan biologis dan ideologis (pengikut) Bung Karno, presiden RI pertama, dan Pak Harto, presiden RI kedua, mendapat stigma itu, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Nasib sering terkait erat dengan "nasab", kata pak kiai di kampung dulu.
Bagi pengagumnya, Bung Karno dipuja bak dewa dan dikutuk sebagai bajingan oleh lawan-lawan politiknya. Itu diakui sendiri oleh Bung Karno dalam otobiografinya "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". Pak Harto idem ditto.
Bagi musuh-musuhnya, Pak Harto adalah seorang jenderal diktator, koruptor dan pelanggar hak azasi manusia (HAM) terberat. Tapi, bagi pengagum dan pendukungnya, apalagi orang yang merasa tertolong, Pak Harto adalah seorang pemimpin yang teguh dalam pendirian, visioner dan peduli rakyat kecil.
Pada waktu zaman kampanye pemilu dan pilkada yang lalu banyak spanduk dan poster bergambar Pak Harto tersenyum dan bertuliskan :"Isih enak jamanku, to". Maksudnya, masih enak zaman Pak Harto, yakni situasi politik keamanan stabil dan Indonesia mencapai swasembada beras. Tentu, itu terlepas harga yang harus dibayar oleh rakyat dan generasi penerus akibat presiden yang menjabat terus-menerus selama 32 tahun.
Bagi musuhnya, Pak Harto tidak ada nilai baiknya. Apa pun yang ia lakukan salah, termasuk mendirikan Yayasan Supersemar (YS), yang bertujuan untuk memberi beasiswa kepada lebih dua juta mahasiswa dan siswa dari keluarga tidak mampu.
Alhamdulillah, alumni penerima beasiswa Supersemar tidak diikutsertakan sebagai penyandang "dosa" (politik) Pak Harto. Dan, memang sejumlah alumni itu membuktikan tetap sehat nalar, walaupun mereka pernah menerima bantuan dari yayasan yang didirikan Pak Harto, tanggal 16 Mei 1974 itu.
Siapa yang tidak kenal tokoh-tokoh politik, cendekiawan dan mantan pejabat tinggi Indonesia, seperti Prof Dr Mahfud MD, jabatan terakhir Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Dr Moh Nuh, mantan Menkominfo dan Mendikbud, Prof Dr Nasaruddin Umar, mantan Wamenag, Prof Johannes Surya, Ph.D, pakar fisika/matematika. Mereka adalah tokoh terpandang Indonesia, alumni penerima beasiswa Supersemar.
Masih ada lagi Prof Dr Marwah Daud Ibrahim, tokoh yang juga politisi Golkar dan pempin ICMI, Prof Dr Indria Samego, peneliti senior di LIPI dan pengamat politik. Juga Prof Dr Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Syaraif Hidayatullah dan cendekiawan muslim mashyur, Arwin Rassyid, bankir top, dan Prof Dr Komaruddin Hidayat, mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah dan cendekiawan muslim terkemuka.
Bahkan, disebut juga Menkeu Bambang Brojonegoro dan Pramono Anung, Sekretaris Kabinet pemerintahan Jokowi juga penerima beasiswa Supersemar.
Bukan hanya itu, sekitar 70 persen rektor berbagai perguruan tinggi Indonesia adalah alumni penerima beasiswa Supersemar. Menurut buku Tokoh-Tokoh Inspiratif KMA-PBS (Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar), yang terbit 2015, lebih dari 500 guru besar dan ribuan doktor (S3) telah dilahirkan berkat beasiswa Supersemar. Termasuk dalam barisan itu adalah Dr Aat Surya Syafaat, Direktur Pemberitaan Perum LKBN ANTARA, editor buku itu.
Alumni itu membuktikan tetap kritis, tidak sesat pikir. Mereka itu termasuk pelaku Gerakan Reformasi 1997/1998 yang bertujuan menurunkan Pak Harto. Mereka tetap kritis karena sadar akan tugasnya sebagai cendekiawan untuk mengingatkan Pak Harto.
Mungkin ada juga penilaian bahwa mereka adalah anak durhaka kepada orang tua. Bisa jadi mereka juga dinilai bertobat, menebus dosa. Apa pun, mereka dipilih dari anak-anak cerdas dan banyak di antara mereka yang menyelesaikan studi dengan hasil gemilang, menyandang gelar teladan dan meraih karir cemerlang.
Prof. Mahfud MD menulis dalam buku itu: "...sebagai seorang negarawan, kita yakin bahwa Pak Harto tidak pernah menyesal telah mendorong kemajuan dunia pendidikan, yang kemudian produk-produknya ikut menjatuhkan dirinya. Pak Harto pasti mendapat banyak pahala karena amal baiknya itu. Semoga Alamarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya".
Pengampunan "fulitik"
Pendirian Yayasan Supersemar (YS) terjadi sekitar empat bulan setelah peristiwa Malari, (Malapetaka 15 Januari 1974) yang melibatkan sejumlah tokoh mahasiswa Universitas Indonesia (UI), termasuk Hariman Siregar, dan diduga melibatkan tokoh TNI-AD yang tidak pro Pak Harto. Jadi, kemungkinan pendirian YS merupakan sebuah langkah politik, yang sering saya plesetkan "fulitik", gabungan "fulus" (uang) dan politik, untuk merangkul mahasiswa.
Sumber dana YS adalah sumbangan para dermawan, terutama pengusaha, termasuk yang beretnis Tionghoa, yang menjadi besar berkat bantuan fasilitas Pak Harto, dan setoran 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976.
Setelah Pak Harto lengser tahun 1998 karena Gerakan Reformasi, muncul tuntutan keras untuk mengusut kekayaaan Pak Harto dan keluarganya, baik di dalam maupun di luar negeri. Kejaksaaan Agung membentuk tim investigasi untuk melacak kekayaan Pak Harto sampai ke Swiss dan Austria. Pak Harto sejak awal menyatakan, tidak punya kekayaan satu sen pun.
Pengusutan itu melalui proses hukum yang berliku panjang, saling tuntut PK (Peninjauan Perkara) antara Kejaksaaan dan pengacara keluarga Cendana. Sampai sekarang kasus itu belum tuntas. Mahkamah Agung pada Juli 2015 memutuskan Pak Harto bersalah dan harus mengembalikan kerugian negara sebesar Rp.4,4 triliun (dengan kurs, 1 dolar AS = Rp14.000). Karena Pak Harto sudah wafat tahun 2007, tuntutan dialihkan kepada ahli warisnya.
Pembina YS, Hj Siti Hediyati Hariyadi SE, yang lebih dikenal dengan Mbak Titik, putri Pak Harto, dalam sambutannya di buku KMA-PBS September 2015, mengakui yayasan tengah menghadapi cobaan terkait putusan MA itu. Ia mengatakan, kondisi ini merugikan masyarakat, khususnya anak-anak bangsa yang masih menerima beasiswa. Jika putusan MA dieksekusi berarti pemerintah telah "menghilangkan" hak anak-anak untuk memperoleh beasiswa, katanya.
Rekening YS kini diblokir. Namun Jaksa Agung Parsetyo awal Januari 2016 membantah telah memblokirnya seraya menyatakan siap menghadapi tuntutan YS. Prasetyo mengakui ada pihak yang akan mencairkan rekening itu, maka perlu diamankan.
Yudi Latief, cendekiawan dan pengamat politik, dalam diskusi nasional "50 Tahun Supersemar" di Unpad, Bandung, April 2016, dikutip sebagai mengatakan bahwa telah terjadi ketidakadilan: para pengemplang pajak triliunan diberi pengampunan pajak (tax amnesty), sedangkan Yayasan Supersemar yang jelas-jelas bergerak di bidang pendidikan tidak diberi ruang hidup.
Pengampunan pajak, apapun dalihnya, jelas merupakan sebuah "langkah fulitik" pemerintah Jokowi. Hukum demi keadilan untuk semua orang harus ditegakkan, baik kepada YS, para pengemplang pajak triliunan, yang mungkin masih keturunan, kerabat dan kroni pengusaha yang dulu di-"besar"-kan Pak Harto, maupun rakyat jelata, yang alpa membayar pajak karena kemiskinan.
Syukurlah, alumni penerima beasiswa Supersemar tetap berpikir jernih dan di antaranya terdapat pakar hukum dan pejabat top. Insya Allah, dapat ditegakkan keadilan untuk semua, terutama rakyat miskin, dari mana alumni berasal.
*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.