Membuka lembar-lembar sejarah asal usul kopi Indonesia melalui Museum Multatuli, seperti menemukan kembali masa kejayaan daerah Lebak sebagai sentra kopi di Nusantara.
Museum Multatuli di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, bukan hanya menyimpan arsip sejarah kopi di Indonesia, akan tetapi juga menyimpan alat penggilingan kopi tradisional pada masa Kolonial Belanda.
Baca juga: Dinkes Kabupaten Lebak ajak masyarakat cegah DBD melalui PSN
Kongsi Dagang Belanda di Timur ( Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) pada abad ke-17 sudah terlibat perdagangan kopi di Teluk Persia dan Laut Merah. Bibit kopi pertama dibawa VOC dari Malabar, India Selatan ke Jawa pada akhir abad 17 dan mulai dibudidayakan sejak awal abad 18.
Komoditas tersebut selanjutnya dikembangkan ke berbagai daerah keresidenan di Indonesia. Keresidenan itu ialah Banten, Priangan, Surabaya, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri.
Menurut informasi dari Museum Multatuli, produksi kopi terbesar kala itu adalah dari Keresidenan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa Tengah), serta Pasuruan dan Besuki (Jawa Timur).
Sementara itu, berdasarkan peta tahun 1834, di wilayah Kabupaten Lebak, khususnya Rangkasbitung, menunjukkan beberapa lokasi penting, di antaranya ada tempat pengumpulan kopi ( koffie loots ) dan gudang kopi (koffie pakhuis). Jadi, Lebak merupakan sentra penghasil kopi yang pernah mengalami masa keemasan pada masa lalu.
Mengembalikan kejayaan kopi
Pemerintah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, kini terus mendorong petani setempat untuk mengembangkan kembali perkebunan kopi dalam upaya meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.
Produksi kopi Kabupaten Lebak pernah mengalami kejayaan saat Pemerintah Kolonial Belanda pada abad 17. Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang didirikan pada 20 Maret 1602 mampu memasok kopi dari Jawa di antaranya Kabupaten Lebak, ke berbagai belahan dunia, karena kualitas dan cita rasanya.
Pemerintah Kabupaten Lebak berkomitmen untuk mengembalikan kejayaan produk kopi setempat melalui festival kopi. Festival kopi itu bertujuan untuk membangkitkan motivasi petani agar mereka membudidayakan kopi dan ke depan diharapkan menjadi sentra penghasil kopi terbesar di Indonesia.
Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Lebak, Abdul Waseh, mengatakan, Pemerintah Kabupaten Lebak menggelar Festival Kopi selama lima hari, pada 14-19 Desember 2022, guna mendorong peningkatan ekonomi petani dan pelaku usaha. Festival kopi yang dilaksanakan di Alun-alun Timur Rangkasbitung itu menampung 40 stan pelaku usaha kopi.
Kopi yang dikembangkan petani Kabupaten Lebak cukup besar, sehingga diharapkan dapat menyumbangkan pendapatan ekonomi masyarakat. Bahkan, produksi kopi dari Kabupaten Lebak bisa menjadi yang terbesar di Indonesia, karena didukung lahan yang luas. Lahan kopi tersebut berada di Kecamatan Sobang, Cibeber, Cilograng, Panggarangan, Cigombong, Cilograng, Cihara, Bayah, Cimarga, Muncang, Leuwidamar, Cileles, Sajira, Banjarsari, Gunungkencana, Cijaku dan Malingping.
Produksi kopi yang ditanam di atas 600 meter permukaan laut kebanyakan jenis kopi Arabika dan di bawah 600 meter jenis kopi Robusta. Petani diharapkan dapat memilah-milah antara kopi Robusta dan Arabika, sehingga dapat meningkatkan kualitasnya.
Wahid (45) seorang petani di Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, kini mengembangkan perkebunan kopi karena memiliki lahan luas, sehingga dapat membantu perekonomian keluarganya.
Di Desa Jagaraksa kini dikembangkan tanaman kopi seluas 400 hektare. Lokasi ini berada di atas 600 meter permukaan laut. Petani mengembangkan tanaman kopi dari benih bantuan Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak. Petani sudah tanam benih kopi bantuan 12.300 batang, dan sebagian di antaranya juga sudah panen.
Menurut Wahid, pengembangan kopi di desanya juga diintegrasikan dengan kawasan agrowisata, karena terdapat destinasi wisata hutan meranti, wisata air terjun dan budaya Kaolotan. Selain itu, dikembangkan pula wisata mengelilingi perkebunan kopi. Pengunjung agrowisata tidak hanya warga Banten, Bogor dan DKI Jakarta, tapi juga mancanegara.
Pengembangan perkebunan kopi tersebut telah menjadi peluang usaha masyarakat di sekitar kawasan wisata hutan meranti Kaolotan Karang.
Ketua Komunitas Kasepuhan Adat Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak Maman Sahroni mengatakan pihaknya kini memproduksi kopi bubuk guna menciptakan kemandirian ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di daerahnya.
Usaha produksi kopi di Kasepuhan Pasir Eurih cukup potensial menumbuhkan perekonomian masyarakat, sebab di dukung bahan baku di daerah itu yang melimpah. Produksi kopi lokal di daerah itu jika memasuki musim panen dipasok ke luar daerah, dan petani menjualnya ke tengkulak berbentuk biji seharga Rp15 ribu/ kg.
Komunitas yang memiliki 200 anggota yang kebanyakan pemuda itu diharapkan dapat menyelamatkan petani memproduksi kopi dibandingkan menjual berbentuk biji ke tengkulak.
Selain itu, Komunitas Kasepuhan Pasir Eurih juga melakukan persemaian tanaman kopi sebanyak 5.000 batang, dan tanaman hutan produksi dari pemberian Presiden Joko Widodo di lahan seluas 200 hektare pada Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ( TNGHS)
Adit (30), seorang perajin kopi Leuit Badui mengatakan pihaknya telah membuka usaha kopi itu sejak tahun 2016 hingga kini tetap eksis dan bisa meraup keuntungan bersih Rp10 juta/bulan. "Kami merasa bersyukur dengan mengikuti Festival Kopi, dan diharapkan dapat meningkatkan omzet pendapatan ekonomi," katanya.
Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak, Deni Iskandar, meminta petani terus mengembangkan perkebunan kopi guna meningkatkan produksi karena permintaan pasar cenderung meningkat. Produksi kopi di Lebak baru mencapai 560 ton per tahun dari tanaman kopi seluas 1.685 hektare.
Pemerintah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, kini terus mendorong petani setempat untuk mengembangkan tanaman kopi, komoditas yang pernah masa keemasan pada masa Kolonilal Belanda. Kabupaten Lebak bertekad dapat menjadi sentra produksi kopi guna menopang peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Museum Multatuli di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, bukan hanya menyimpan arsip sejarah kopi di Indonesia, akan tetapi juga menyimpan alat penggilingan kopi tradisional pada masa Kolonial Belanda.
Baca juga: Dinkes Kabupaten Lebak ajak masyarakat cegah DBD melalui PSN
Kongsi Dagang Belanda di Timur ( Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) pada abad ke-17 sudah terlibat perdagangan kopi di Teluk Persia dan Laut Merah. Bibit kopi pertama dibawa VOC dari Malabar, India Selatan ke Jawa pada akhir abad 17 dan mulai dibudidayakan sejak awal abad 18.
Komoditas tersebut selanjutnya dikembangkan ke berbagai daerah keresidenan di Indonesia. Keresidenan itu ialah Banten, Priangan, Surabaya, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri.
Menurut informasi dari Museum Multatuli, produksi kopi terbesar kala itu adalah dari Keresidenan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa Tengah), serta Pasuruan dan Besuki (Jawa Timur).
Sementara itu, berdasarkan peta tahun 1834, di wilayah Kabupaten Lebak, khususnya Rangkasbitung, menunjukkan beberapa lokasi penting, di antaranya ada tempat pengumpulan kopi ( koffie loots ) dan gudang kopi (koffie pakhuis). Jadi, Lebak merupakan sentra penghasil kopi yang pernah mengalami masa keemasan pada masa lalu.
Mengembalikan kejayaan kopi
Pemerintah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, kini terus mendorong petani setempat untuk mengembangkan kembali perkebunan kopi dalam upaya meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.
Produksi kopi Kabupaten Lebak pernah mengalami kejayaan saat Pemerintah Kolonial Belanda pada abad 17. Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang didirikan pada 20 Maret 1602 mampu memasok kopi dari Jawa di antaranya Kabupaten Lebak, ke berbagai belahan dunia, karena kualitas dan cita rasanya.
Pemerintah Kabupaten Lebak berkomitmen untuk mengembalikan kejayaan produk kopi setempat melalui festival kopi. Festival kopi itu bertujuan untuk membangkitkan motivasi petani agar mereka membudidayakan kopi dan ke depan diharapkan menjadi sentra penghasil kopi terbesar di Indonesia.
Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Lebak, Abdul Waseh, mengatakan, Pemerintah Kabupaten Lebak menggelar Festival Kopi selama lima hari, pada 14-19 Desember 2022, guna mendorong peningkatan ekonomi petani dan pelaku usaha. Festival kopi yang dilaksanakan di Alun-alun Timur Rangkasbitung itu menampung 40 stan pelaku usaha kopi.
Kopi yang dikembangkan petani Kabupaten Lebak cukup besar, sehingga diharapkan dapat menyumbangkan pendapatan ekonomi masyarakat. Bahkan, produksi kopi dari Kabupaten Lebak bisa menjadi yang terbesar di Indonesia, karena didukung lahan yang luas. Lahan kopi tersebut berada di Kecamatan Sobang, Cibeber, Cilograng, Panggarangan, Cigombong, Cilograng, Cihara, Bayah, Cimarga, Muncang, Leuwidamar, Cileles, Sajira, Banjarsari, Gunungkencana, Cijaku dan Malingping.
Produksi kopi yang ditanam di atas 600 meter permukaan laut kebanyakan jenis kopi Arabika dan di bawah 600 meter jenis kopi Robusta. Petani diharapkan dapat memilah-milah antara kopi Robusta dan Arabika, sehingga dapat meningkatkan kualitasnya.
Wahid (45) seorang petani di Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, kini mengembangkan perkebunan kopi karena memiliki lahan luas, sehingga dapat membantu perekonomian keluarganya.
Di Desa Jagaraksa kini dikembangkan tanaman kopi seluas 400 hektare. Lokasi ini berada di atas 600 meter permukaan laut. Petani mengembangkan tanaman kopi dari benih bantuan Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak. Petani sudah tanam benih kopi bantuan 12.300 batang, dan sebagian di antaranya juga sudah panen.
Menurut Wahid, pengembangan kopi di desanya juga diintegrasikan dengan kawasan agrowisata, karena terdapat destinasi wisata hutan meranti, wisata air terjun dan budaya Kaolotan. Selain itu, dikembangkan pula wisata mengelilingi perkebunan kopi. Pengunjung agrowisata tidak hanya warga Banten, Bogor dan DKI Jakarta, tapi juga mancanegara.
Pengembangan perkebunan kopi tersebut telah menjadi peluang usaha masyarakat di sekitar kawasan wisata hutan meranti Kaolotan Karang.
Ketua Komunitas Kasepuhan Adat Pasir Eurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak Maman Sahroni mengatakan pihaknya kini memproduksi kopi bubuk guna menciptakan kemandirian ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di daerahnya.
Usaha produksi kopi di Kasepuhan Pasir Eurih cukup potensial menumbuhkan perekonomian masyarakat, sebab di dukung bahan baku di daerah itu yang melimpah. Produksi kopi lokal di daerah itu jika memasuki musim panen dipasok ke luar daerah, dan petani menjualnya ke tengkulak berbentuk biji seharga Rp15 ribu/ kg.
Komunitas yang memiliki 200 anggota yang kebanyakan pemuda itu diharapkan dapat menyelamatkan petani memproduksi kopi dibandingkan menjual berbentuk biji ke tengkulak.
Selain itu, Komunitas Kasepuhan Pasir Eurih juga melakukan persemaian tanaman kopi sebanyak 5.000 batang, dan tanaman hutan produksi dari pemberian Presiden Joko Widodo di lahan seluas 200 hektare pada Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ( TNGHS)
Adit (30), seorang perajin kopi Leuit Badui mengatakan pihaknya telah membuka usaha kopi itu sejak tahun 2016 hingga kini tetap eksis dan bisa meraup keuntungan bersih Rp10 juta/bulan. "Kami merasa bersyukur dengan mengikuti Festival Kopi, dan diharapkan dapat meningkatkan omzet pendapatan ekonomi," katanya.
Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak, Deni Iskandar, meminta petani terus mengembangkan perkebunan kopi guna meningkatkan produksi karena permintaan pasar cenderung meningkat. Produksi kopi di Lebak baru mencapai 560 ton per tahun dari tanaman kopi seluas 1.685 hektare.
Pemerintah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, kini terus mendorong petani setempat untuk mengembangkan tanaman kopi, komoditas yang pernah masa keemasan pada masa Kolonilal Belanda. Kabupaten Lebak bertekad dapat menjadi sentra produksi kopi guna menopang peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.