Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kasus yang menjerat Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna (AUS) karena konflik kepentingan dalam pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi COVID-19 pada Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat Tahun 2020.
"Berdasarkan analisis dari penyidik dan JPU pada saat ekspose itu tidak ditemukan adanya suap. Artinya, tidak ada penyalahgunaaan kewenangan yang digunakan oleh bupati sehubungan dengan jabatan atau kewenangannya tetapi semata terjadi konflik kepentingan," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Baca juga: KPK cegah tiga orang dalam perkara korupsi Bandung Barat
KPK pada Kamis ini telah menetapkan Aa Umbara bersama Andri Wibawa (AW) dari pihak swasta/anak dari Aa Umbara dan pemilik PT Jagat Dir Gantara (JDG) dan CV Sentral Sayuran Garden City Lembang (SSGCL) M Totoh Gunawan (MTG) sebagai tersangka.
"Bahwa seorang kepala daerah yang mempunyai kewajiban melaksanakan atau melakukan pengawasan terhadap suatu kegiatan tetapi justru ikut terlibat dalam proses kegiatan itu sendiri melibatkan yang bersangkutan dan juga anak yang bersangkutan, menunjuk langsung kerabat dekatnya, yaitu anaknya. Dari situ saja kita sudah melihat bahwa terjadi konflik kepentingan proses pengadaan sembako tersebut," ungkap Alex.
Ia mengatakan perbuatan Aa Umbara selaku kepala daerah yang ditugaskan untuk mengawasi pengadaan barang/jasa dalam keadaan pandemi COVID-19, namun terlibat dalam pengadaan tersebut merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan etika pengadaan dan peraturan pengadaan barang/jasa.
"Perbuatan tersebut melanggar sumpah jabatan seorang kepala daerah di mana kepala daerah dilarang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya," ujar dia.
Dari kegiatan pengadaan tersebut, KPK menduga Aa Umabara telah menerima uang sejumlah sekitar Rp1 miliar. Sedangkan M Totoh diduga telah menerima keuntungan sejumlah sekitar Rp2 milliar dan Andri juga diduga menerima keuntungan sejumlah sekitar Rp2,7 miliar.
Sebelumnya pada Maret 2020 karena adanya pandemi COVID-19, Pemkab Bandung Barat menganggarkan sejumlah dana untuk penanggulangan pandemi COVID-19 dengan melakukan "refocusing" anggaran APBD Tahun 2020 pada Belanja Tidak Terduga (BTT).
Dengan menggunakan bendera CV Jayakusuma Cipta Mandiri (JCM) dan CV Satria Jakatamilung (SJ), Andri mendapatkan paket pekerjaan dengan
total senilai Rp36 miliar untuk pengadaan paket bahan pangan bantuansosial Jaring Pengaman Sosial (Bansos JPS).
Sedangkan M Totoh dengan menggunakan PT JDG dan CV SSGCL mendapakan paket pekerjaan dengan total senilai Rp15,8 miliar untuk pengadaan bahan pangan Bansos JPS dan bantuan sosial terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (Bansos PSBB).
Atas perbuatan tersebut, Aa Umbara disangkakan melanggar Pasal 12 huruf i dan atau Pasal 15 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 56 KUHP.
Sedangkan Andri dan M Totoh disangkakan melanggar Pasal 12 huruf i dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 56 KUHP.
Adapun Pasal 12 huruf i mengatur pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Sementara Pasal 15 mengatur mengenai setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
KPK: Kasus Bupati Bandung Barat karena konflik kepentingan
Kamis, 1 April 2021 22:03 WIB
Perbuatan tersebut melanggar sumpah jabatan seorang kepala daerah di mana kepala daerah dilarang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakuk