Tangerang (ANTARA) - Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) kembali memulangkan calon pekerja migran Indonesia nonprosedural ke daerah asal masing-masing setelah menjadi korban penyelundupan tenaga kerja migran ilegal.
Adapun korban penyelundupan pekerja ilegal itu terdiri atas delapan orang yaitu Jumiarti Usman (44) warga Pesawaran, Lampung, Tati (50) warga Karawang, Jawa Barat, Ai Maemunah (45) warga Purwakarta, Jawa Barat, Mimin (43) warga Bekasi, Jawa Barat, Nurhamida (45), Wiwin Wahyuni (37), Salamawati (42) dan Juweruah (45) warga Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding dalam konferensi pers di Tangerang, Kamis, menyampaikan bahwa calon PMI nonprosedural saat ini telah dibawa dan ditempatkan sementara di Gedung Shelter BP3MI Banten untuk nantinya dikembalikan ke daerah asal mereka.
"Delapan orang calon pekerja migran Indonesia (CPMI) ini dari berbagai daerah, ada dari NTB, Lampung Pesawaran dan Jawa Barat. Rata-rata mereka ini dasarnya kebutuhan ekonomi," jelasnya.
Baca juga: Moratorium PMI untuk Arab Saudi disebut masih dalam kajian
Kadir menyebut para calon PMI nonprosedural yang berhasil digagalkan oleh aparat kepolisian daerah Bogor, Jawa Barat tersebut, diketahui akan diberangkatkan ke Uni Emirat Arab, khususnya negara Abu Dabi.
"Modusnya, pelaku mengiming-imingi untuk berangkat kerja. Dijanjikan upah sebesar Rp9 juta, tetapi tidak direalisasikan, kemudian paspor diambil oleh mereka. Kita menemukan tujuh paspor korban," jelasnya.
Dia mengungkapkan atas penggagalan penyelundupan tenaga kerja secara non-prosedural itu, pihaknya bersama kepolisian mengamankan satu orang terduga pelaku berinisial ALS sebagai penyalur CPMI tersebut.
Dengan adanya kasus ini akan menjadi perhatian penuh dari pemerintah. Bahkan pihaknya terus berupaya dan secara konsisten untuk melakukan pemberantasan terhadap mafia atau oknum tindak pidana perdagangan orang tersebut.
"Menurut undang-undang perdagangan orang akan dihukum paling tidak 10 tahun sangkaanya dan denda bisa sampai Rp5 miliar. Jadi jangan main-main terhadap hal seperti ini," Katanya menegaskan.