Tangerang (AntaraBanten) - Pengamat Komunikasi, Agustina Zubair mengatakan, adegan kekerasan di sinetron terhadap perempuan berdampak terhadap kesetaraan gender.
"Tanpa kita, sadari ternyata adegan kekerasan terhadap film mendorong terciptanya kekerasan pada perempuan," ujar Agustina dihubungi, Sabtu.
Ia mengatakan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus memperketat sensor terhadap film yang melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Karena, pesan yang disampaikan dalam sebuah film sangat cepat diterima dan diingat. Maka itu, perlu adanya seleksi terhadap film yang layak lolos atau tidak.
Lalu, mengenai masalah kesetaraan gender pun dinilainya terjadi pada wilayah - wilayah yang jauh dari perkotaan.
Karena, untuk wilayah perkotaan misalnya saja, hak terhadap perempuan sudah lebih baik dibandingkan dengan daerah - daerah terpencil.
Pasalnya, kesetaraan gender tercipta dari konsep diri yang dibentuk dari keluarga dan lingkungan. Ketika seorang wanita sibuk dengan urusan fisiknya, maka tanpa disadari merendahkan dirinya sendiri.
"Terkadang, wanita tanpa sadar lupa betapa berharganya dia dan tak perlu sibuk mengurus fisiknya untuk sama dengan lainnya. Karena setiap orang memiliki kelebihan sendiri," ujarnya yang merupakan Dekan Fakultas Komunikasi UMB Jakarta.
Upaya pemerintah melalui program di Kabupaten/Kota pun harus diinovasi agar tak sekedar mendukung kesetaraan gender tetapi minim program.
Walaupun perlu diakui jika negara di Asia Tenggara masih berusaha mendukung penerapan kesetaraan gender. Contohnya di bidang teknik dan politik yang masih di dominasi laki - laki.
Agustina menjelaskan, bersama University Sains Malaysia (USM) membentuk kajian bersama dengan pusat penyelidikan wanita dan gender.
Melalui wadah itu, perlu ditumbuhkan pemahaman para akademisi mengenai pentingnya posisi perempuan di sektor publik dan domestik.
"Ilmu pengetahuan komunikasi dapat memfasilitasi nilai keadilan dalam meningkatkan kebebasan dan martabat perempuan," katanya.
Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kota Tangerang, alami penurunan. Pada tahun 2013 ada 14 kasus setiap bulannya dan tahun 2014 turun menjadi enam hingga tujuh kasus per bulan.
Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah, mengatakan, meski adanya penurunan tetapi Pemkot terus melakukan upaya agar dapat kembali ditekan melalui penyuluhan kepada setiap RT/RW.
Lalu, beberapa program telah banyak melibatkanya perempuan dan anak seperti pelatihan bagi perempuan sehingga akan mampu menumbuhkan UKM baru, Pelaksanaan Program P2WKSS, program Tangerang Kota Layak Anak dari pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan dilengkapi taman bermain bagi anak-anak.
Lalu, program 1000 posyandu dan Tangerang Cerdas serta pendirian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Keberhasilan pemberdayaan perempuan di Kota Tangerang juga tercermin dari berbagai indikator mulai dari Angka Harapan Hidup (AHH) Perempuan yang mencapai 70,45 atau di atas rata-rata AHH Banten. Sedangkan untuk Indeks Pembangunan Gender (IPG) Tahun 2012 sebesar 68,90.
"Program Pemkot Tangerang telah banyak memihak perempuan dan anak serta mendapat apresiasi dari pemerintah pusat yakni Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak," ujarnya.