Tangerang (ANTARA) - Penggiat kesetaraan gender yang juga COO PT. Infinitie Berkah Energi, Rinawati Prihatiningsih mengatakan RUU KIA sebaiknya fokus pada pengaturan waktu cuti untuk ayah karan bisa dimaknai sebagai simbolis menghargai pentingnya kehidupan keluarga, ikatan ayah-anak, dan peran ayah yang penuh perhatian. Selain itu, 'bonus berbagi' dan jenis dorongan lain untuk cuti ayah dapat membantu mempercepat perubahan perilaku sosial.
"Cuti wajib bagi ayah juga dapat menjadi jalan untuk mengesampingkan norma-norma sosial yang menghambat pengambilan cuti ayah, yang sangat relevan terutama ketika data mengungkapkan bahwa keinginan individu untuk cuti lebih tinggi daripada cuti efektif karena hambatan yang ditimbulkan oleh norma-norma sosial," kata Rinawati di Tangerang dalam keterangan resminya.
Rinawati Prihatiningsih yang sekaligus WKU Bidang Litbang dan Ketenagakerjaan DPP IWAPI, mengungkapkan, kebijakan cuti enam bulan bisa menjadi pedang bermata dua bagi perempuan pekerja.
Ia mengatakan di satu sisi merupakan kebijakan untuk melindungi pekerjaan dan hak-hak reproduksi perempuan. Tetapi di sisi lain, kebijakan ini berdampak menimbulkan anggapan kehamilan sebagai beban organisasi atau perusahaan.
"Sebab, tidak semua perusahaan mampu menjalankan kebijakan ini. Hal ini bisa mendorong sikap diskriminatif dalam perekrutan dan promosi perempuan di tempat kerja," kata Rinawati.
Lalu dampaknya, pengusaha akan cenderung merekrut perempuan berdasarkan usia dan status perkawinannya, tidak merekrut perempuan yang memiliki atau berencana untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Karena khawatir peran reproduksi mereka dapat mempengaruhi biaya dan kinerja perusahaan.
Dukungan terhadap RUU KIA ini akan mengalir bila dibuat sepanjang untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan ibu dan anak dan tidak kontra produktif bagi perempuan.
Makanya, perlu kajian yang lebih serius terkait kebijakan cuti melahirkan 6 bulan dan skema jaminan sosial, dimana beban dari cuti ini, tidak hanya ditanggung oleh pemberi kerja saja, namun ditanggung bersama oleh pengusaha, karyawan dan pemerintah disesuaikan dengan tingkatannya.
"RUU KIA seharusnya tidak hanya mengatur cuti hamil namun juga cuti ayah, cuti orang tua dan keluarga, dan memuat klausul anti-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, kehamilan, atau tanggung jawab keluarga dalam aspek pekerjaan apa pun," kata Rina yang juga menjadi Pengurus KADIN Indonesia itu.
Saat ini, hal paling krusial adalah flexible working hours. Lalu penyediaan tempat penitipan anak yang dekat, terjangkau bahkan digratiskan oleh negara. Pengambilan cuti oleh ayah dapat mengurangi hukuman sebagai ibu “the motherhood penalty” dengan memungkinkan ibu untuk kembali ke pasar tenaga kerja. Berbagai kajian menunjukkan bahwa cuti ayah untuk mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memiliki efek positif baik pada tumbuh kembang anak juga pada pekerjaan penuh waktu ibu.
Juga harus adanya perlindungan pekerja perempuan yang bekerja di sektor informal, di ranah privat rumah tangga. Salah satunya saat ini yang sangat mendesak dan penting adalah segera disahkannya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta ratifikasi Konvensi ILO 189, Situasi Kerja Layak PRT.
"Bila pembahasannya hanya sekedar waktu cuti, sebenarnya Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur hak perempuan pekerja dari cuti haid, melahirkan, perlindungan dari kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan Indonesia telah mengesahkan beberapa konvensi ILO terkait perlindungan perempuan pekerja," ujar ibu dua anak yang juga menjabat sebagai Co-Chair G20 EMPOWER itu.
Juga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) baru disahkan sebagai payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Diharapkan kebijakan yang dihasilkan tidak jadi bumerang untuk perempuan pekerja. Untuk usaha kecil dan menengah, cuti hamil juga dapat menyebabkan komplikasi bagi perusahaan. Menutupi beban kerja dan shift bisa jadi sulit. Perlu mencari solusi “win-win” untuk semua pihak dari perusahaan, pekerja dan negara. Sehingga perempuan pekerja tetap terlindungi hak pekerjaannya dan hak menjalankan fungsi reproduksinya.
Beberapa solusi diantaranya. Perusahaan memberikan cuti melahirkan 3 bulan berbayar sesuai UU Ketenagakerjaan. Hanya saja cuti 3 bulan berikutnya untuk merawat bayi baru lahir atau anak adopsi, tidak berbayar namun ijinkan perempuan pekerja untuk kembali ke pekerjaan, gaji dan tunjangan yang sama atau setara.
Kewajiban pekerja berusaha untuk menunjukkan ambisi mereka yang berkelanjutan untuk bekerja selama ketidakhadiran mereka, termasuk memanfaatkan kebijakan dan program yang memungkinkan mereka untuk tetap terhubung dengan tempat kerja, atau menemukan sponsor dalam perusahaan yang akan mengadvokasi atas nama mereka.
Di sisi lain, negara berkewajiban untuk memberikan jaminan sosial dan kesehatan selama cuti tersebut dan akses penitipan anak “day care” gratis dan terjangkau.
Penggiat: RUU KIA sebaiknya fokus atur cuti ayah
Senin, 27 Juni 2022 14:47 WIB