Serang (AntaraBanten) - Penetapan angka keterwakilan perempuan di legislatif minimal 30 persen di tiap-tiap partai yang dituangkan dalam UU No 8 Tahun 2012 tentunya perlu diapresiasi, yang artinya pembuat kebijakan menginginkan peranan perempuan di legislatif lebih maksimal lagi.
Kehadiran perempuan di parlemen selama ini dilihat dari angka memang belum cukup mewakili jumlah perempuan di Indonesia yang berdasarkan data sensus 2000 mencapai 101.625.816 jiwa, atau sekitar 51 persen dari seluruh jumlah penduduk.
Pada pemilu 1999 keterwakilan perempuan di parlemen hanya 9 persen, kemudian meningkat menjadi 10 persen pada pemilu 2004, dan berhasil meraih 18 persen pada 2009.
Pada Pemilu 2014 ini diwajibkan tiap parpol memiliki keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Bagi partai politik tentu ada yang tidak begitu sulit untuk merekrut kader-kader perempuannya untuk berkiprah di dunia politik, tapi ada kemungkinan juga ada partai politik yang memiliki kader namun belum siap mewakili partainya di parlemen.
Jika tidak ada kader yang diandalkan untuk dapat meraih suara, maka dapat dengan cara 'meminang' bukan kader, artis atay publik figur misalnya, yang tentu belum teruji kemampuannya di bidang politik. Artinya berbagai cara dilakukan partai politik agar mereka dapat memenuhi keterwakilan perempuan di parlemen.
Bukan berarti partai politik tidak memiliki kader-kader perempuan, namun karena tidak ditempa dari bawah (kaderisasi), sehingga mereka belum berani terjun langsung dan masih belum percaya diri dengan kemampuannya, sehingga iapun kurang dikenal di masyarakat.
Kelemahan pengurus partai politik tampaknya diawali dengan ketidaksiapannya menempa kader-kader perempuan dari bawah, dan pengalaman berorganisasi yang minim, sehingga tidak mampu menelorkan politisi perempuan yang sukses, padahal kualitas menjadi hal yang pokok ketika duduk di parlemen nantinya.
Tidak cukup hanya dengan modal menempatkan jumlah keterwakilan yang memenuhi persyaratan saja, tetapi para perempuan itu benar-benar mampu memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perempuan. Jangan sampai menerapkan strategi "4D" (datang, duduk, diam, dapat duit), yang tentu tidak ada manfaatnya bagi masyarakat menempatkan ia sebagai wakil rakyat.
Pada Pemilu 2014 ini, jumlah perempuan yang mandaftar sebagai calon legislatif cukup banyak, yang terlihat dari poster-poster yang terpampang di jalan-jalan dan juga di kaca belakang kendaraan roda empat baik milik pribadi maupun angkutan kota dari berbagai partai, seperti terlihat di wilayah Kota Serang, Provinsi Banten.
Para calon legislatif perempuan yang pemula tentu belum diketahui jejak rekamnya di dunia politik, namun keberaniannya mendaftar sebagai caleg patut diapresiasi, walaupun belum diketahui kemampuannya dalam memperjuangkan berbagai masalah khususnya yang berkaitan dengan perempuan.
Bukan Lapangan Pekerjaan
Kehadiran caleg perempuan di parlemen yang diharapkan adalah kemampuannya menyampaikan aspirasi dari bawah dan memperjuangkannya di parlemen agar dapat diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah, termasuk juga caleg laki-laki.
Kemampuannya menelorkan berbagai peraturan daerah misalnya yang memang bermanfaat bagi masyarakat, tentu itulah yang diharapkan oleh masyarakat.
Tapi apakah pekerjaan sebagai wakil rakyat selama lima tahun itu murni semata-mata hanya untuk memperhatikan nasib rakyat, atau dijadikan sebagai 'lapangan pekerjaan' tersendiri untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya, termasuk bagi caleg perempuan.
Kalau legislatif itu berkualitas dan memang teruji kemampuannya membuat peraturan tentu pendapatan (gaji) yang diperolehnya setimpal dengan jerih payahnya. Bagaimana dengan legislatif yang tidak berkualitas.
Oleh karena itu, wajarlah banyak kalangan yang mengingatkan para wakil rakyat tersebut tidak menjadikan lembaga legislatif itu sebagai lapangan pekerjaan tersendiri untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya, seperti yang disampaikan Ketua Komisi Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak KH Baijuri.
"Kami berharap calon legislatif hasil Pemilu 2014 memiliki kualitas yang baik dan tidak dijadikan lembaga legislatif lapangan pekerjaan," katanya.
Bila dalam Pemilu 2014 ini bisa terwujud jumlah keterwakilan perempuan minimal 30 persen, diharapkan para legislatif yang terpilih itu benar-benar orang yang berkualitas dan berani menyampaikan aspirasi dari bawah. Jika belum bermutu maka kewajiban partai politiklah memberikan pembekalan secara bertahap, karena kita tidak menginginkan mereka duduk di parlemen hanya sekedar keterwakilan, melainkan harus dapat mewakilkan konstituennya.