Para peneliti mendapati beberapa jenis obat penurunan berat badan dan diabetes tipe 2 juga dapat membantu mengurangi risiko serangan jantung, stroke, dan kematian pada penyintas stroke.
Menurut siaran Medical Daily pada Senin (11/11), para peneliti dalam studi baru mengevaluasi data kesehatan dari 7.044 orang dewasa yang dirawat di rumah sakit karena stroke iskemik akut antara Januari 2000 dan Juni 2022.
Mereka mengikuti peserta studi untuk memahami bagaimana dua kelas obat diabetes tipe 2 dan penurun berat badan dapat mengurangi risiko serangan jantung, stroke sekunder, atau kematian pada penyintas stroke.
Dua kelas obat diabetes tipe 2 dan penurun berat badan yang diteliti kerjanya yakni agonis reseptor glukagon-like peptide-1 (GLP-1) seperti liraglutide dan semaglutide atau penghambat sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) seperti canagliflozin dan dapagliflozin.
Baca juga: Penderita jantung disarankan pilih olahraga santai, bisa atur energi
Hasil awal penelitian yang dipresentasikan dalam American Heart Association's Scientific Sessions 2024 menunjukkan, setelah rata-rata tiga tahun orang dewasa yang mengonsumsi GLP-1 atau SGLT2 mengalami penurunan risiko kematian sebesar 74 persen dan penurunan risiko serangan jantung 84 persen.
Mereka yang mengonsumsi penghambat SGLT2 juga 67 persen lebih kecil kemungkinannya mengalami stroke berikutnya.
"Sayangnya, seperempat orang yang selamat dari stroke akan mengalami stroke lagi, dan mereka juga berisiko mengalami kejadian kardiovaskular lain seperti serangan jantung, karena banyak faktor risiko stroke juga terkait dengan bentuk penyakit jantung lainnya," kata penulis utama studi Dr. M. Ali Sheffeh, seorang peneliti di Mayo Clinic, Rochester, Minnesota, Amerika Serikat.
Ia menyampaikan bahwa manajemen risiko-risiko tersebut serta pencarian pendekatan baru untuk membantu mengurangi kemungkinan stroke, serangan jantung, atau kematian merupakan langkah penting dalam upaya meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup orang yang pernah mengalami stroke.
Baca juga: Catat, infeksi gigi berlangsung lama bisa sebabkan penyakit katup jantung
Para peneliti mencatat bahwa risiko serangan jantung, stroke sekunder, atau kematian pada penyintas stroke tetap menurun meskipun sudah disesuaikan dengan faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status merokok, status hipertensi, status diabetes tipe 2, penyakit arteri perifer, hiperlipidemia, penyakit ginjal kronis, serta riwayat serangan jantung atau gagal jantung.
Tingkat kematian di antara penyintas stroke yang mengonsumsi salah satu dari dua kelas obat diabetes tipe 2 dan penurun berat badan tercatat 11,8 persen, lebih rendah dari 54 persen pada mereka yang tidak mengonsumsi obat tersebut.
Tingkat serangan jantung di antara pasien yang mengonsumsi salah satu obat itu sebesar 1,5 persen sedangkan pada mereka yang tidak mengonsumsi mencapai 6,1 persen.
Walau kemungkinan terjadinya stroke kedua pada mereka yang menjalani pengobatan dan tidak hampir sama, sekitar 6 persen, para peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan antara konsumsi salah satu obat dan pengurangan risiko stroke berulang ketika mempertimbangkan berbagai variabel.
"Ketika membandingkan beberapa variabel, kami masih dapat menyimpulkan bahwa pengobatan dengan salah satu obat ini berhubungan dengan penurunan risiko stroke berulang meskipun tingkatnya serupa antara pasien yang menerima dan yang tidak menerima pengobatan," kata Dr. Sheffeh.
Baca juga: Minum cuka apel secara rutin ternyata bisa turunkan berat badan
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2024
Menurut siaran Medical Daily pada Senin (11/11), para peneliti dalam studi baru mengevaluasi data kesehatan dari 7.044 orang dewasa yang dirawat di rumah sakit karena stroke iskemik akut antara Januari 2000 dan Juni 2022.
Mereka mengikuti peserta studi untuk memahami bagaimana dua kelas obat diabetes tipe 2 dan penurun berat badan dapat mengurangi risiko serangan jantung, stroke sekunder, atau kematian pada penyintas stroke.
Dua kelas obat diabetes tipe 2 dan penurun berat badan yang diteliti kerjanya yakni agonis reseptor glukagon-like peptide-1 (GLP-1) seperti liraglutide dan semaglutide atau penghambat sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) seperti canagliflozin dan dapagliflozin.
Baca juga: Penderita jantung disarankan pilih olahraga santai, bisa atur energi
Hasil awal penelitian yang dipresentasikan dalam American Heart Association's Scientific Sessions 2024 menunjukkan, setelah rata-rata tiga tahun orang dewasa yang mengonsumsi GLP-1 atau SGLT2 mengalami penurunan risiko kematian sebesar 74 persen dan penurunan risiko serangan jantung 84 persen.
Mereka yang mengonsumsi penghambat SGLT2 juga 67 persen lebih kecil kemungkinannya mengalami stroke berikutnya.
"Sayangnya, seperempat orang yang selamat dari stroke akan mengalami stroke lagi, dan mereka juga berisiko mengalami kejadian kardiovaskular lain seperti serangan jantung, karena banyak faktor risiko stroke juga terkait dengan bentuk penyakit jantung lainnya," kata penulis utama studi Dr. M. Ali Sheffeh, seorang peneliti di Mayo Clinic, Rochester, Minnesota, Amerika Serikat.
Ia menyampaikan bahwa manajemen risiko-risiko tersebut serta pencarian pendekatan baru untuk membantu mengurangi kemungkinan stroke, serangan jantung, atau kematian merupakan langkah penting dalam upaya meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup orang yang pernah mengalami stroke.
Baca juga: Catat, infeksi gigi berlangsung lama bisa sebabkan penyakit katup jantung
Para peneliti mencatat bahwa risiko serangan jantung, stroke sekunder, atau kematian pada penyintas stroke tetap menurun meskipun sudah disesuaikan dengan faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status merokok, status hipertensi, status diabetes tipe 2, penyakit arteri perifer, hiperlipidemia, penyakit ginjal kronis, serta riwayat serangan jantung atau gagal jantung.
Tingkat kematian di antara penyintas stroke yang mengonsumsi salah satu dari dua kelas obat diabetes tipe 2 dan penurun berat badan tercatat 11,8 persen, lebih rendah dari 54 persen pada mereka yang tidak mengonsumsi obat tersebut.
Tingkat serangan jantung di antara pasien yang mengonsumsi salah satu obat itu sebesar 1,5 persen sedangkan pada mereka yang tidak mengonsumsi mencapai 6,1 persen.
Walau kemungkinan terjadinya stroke kedua pada mereka yang menjalani pengobatan dan tidak hampir sama, sekitar 6 persen, para peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan antara konsumsi salah satu obat dan pengurangan risiko stroke berulang ketika mempertimbangkan berbagai variabel.
"Ketika membandingkan beberapa variabel, kami masih dapat menyimpulkan bahwa pengobatan dengan salah satu obat ini berhubungan dengan penurunan risiko stroke berulang meskipun tingkatnya serupa antara pasien yang menerima dan yang tidak menerima pengobatan," kata Dr. Sheffeh.
Baca juga: Minum cuka apel secara rutin ternyata bisa turunkan berat badan
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2024