Jakarta (ANTARA) - Bagi sebagian besar penikmat sepak bola, kecuali pendukung Manchester United, dinamika Setan Merah musim ini tak ubahnya sebuah lelucon.
Optimisme setinggi langit bermodalkan bek termahal di dunia dan bek kanan terbaik di Inggris --tentunya menurut mereka-- setelah menang 4-0 di pekan pembuka, hanya untuk terpaut dua poin dari zona degradasi tujuh pertandingan kemudian.
Sebaliknya, dinamika Liverpool bagi sebagian besar penikmat sepak bola, tentunya kecuali mereka yang membenci The Reds, menjadi sebuah pertunjukan keajegan sebuah sistem yang dibangun dengan kesabaran dan modal finansial yang tidak sedikit.
Setelah musim lalu lagi-lagi diejek sebagai tim dengan slogan andalan "musim depan milik kami", Liverpool membuktikan sejauh musim berjalan memang milik mereka. 24 poin dari 24 poin yang sejauh ini tersedia telah mereka kumpulkan, bahkan dalam kondisi permainan yang boleh dibilang belum mencapai level terbaik sebagaimana ditunjukkan musim lalu.
Maka demikianlah, narasi awal menjelang pertemuan antara dua musuh bebuyutan tim tersukses di daratan Inggris.
MU akan menjamu Liverpool dalam laga pekan kesembilan Liga Inggris di Old Trafford pada Minggu (20/10) dengan bayang-bayang rivalitas lama keduanya kini dipisahkan "jurang" berupa 15 poin dan 11 tempat di klasemen sementara.
Liverpool tersukses di Inggris
Liverpool berhasil meraih trofi Liga Champions keenam mereka pada 1 Juni 2019, lantas sekira satu setengah bulan berselang tim besutan Juergen Klopp itu kembali dihujani confetti saat mengangkat trofi Piala Super Eropa dengan mengalahkan Chelsea di Istanbul, Turki.
Keberhasilan meraih dua trofi itu membuat Liverpool kembali merebut status sebagai tim tersukses di daratan Inggris dengan koleksi 43 trofi bergengsi, tanpa menghitung Community Shield yang dianggap hiburan bagi sebagian besar publik Inggris.
Raihan itu menggusur MU yang sebelumnya merebut status tersebut pada musim 2016/17 dengan 42 trofi lewat keberhasilan menjurai Piala FA dan Liga Europa di bawah arahan Jose Mourinho, yang ironisnya dipecat setelah kekalahan melawan Liverpool pertengahan Desember 2018.
Liverpool mengawali musim ini "cuma" dengan kemenangan 4-1 melawan tim promosi Norwich City, hasil yang dua hari kemudian dianggap lebih inferior dibandingkan raihan kemenangan telak 4-0 MU atas Chelsea.
Namun, sementara MU harus menunggu hingga laga pekan kelima untuk meraih kemenangan lagi, Liverpool meneruskan modal "inferior" mereka menjadi raihan kemenangan beruntun.
Catatan Liverpool terus berlanjut hingga delapan pertandingan mereka sapu bersih demi meraup 24 poin penuh dan bercokol di puncak klasemen Liga Inggris.
Sedangkan di waktu bersamaan MU tak lagi meraih kemenangan setelah pekan kelima melawan Leicester City dan kini terdampar di urutan ke-12 klasemen dengan jarak hanya dua poin dari zona degradasi.
Meski di permukaan Liverpool terlihat mulus menjalani awal musim namun kubu The Reds bukannya tanpa masalah. Salah satu yang paling mendasar adalah absennya kiper utama Alisson Becker sejak menit ke-39 laga pekan pembuka melawan Norwich karena cedera betis yang dideritanya.
Kiper pelapis Adrian San Miguel bukannya tak menjalankan tugasnya dengan baik, mengingat ia harus menggantikan kiper peraih tiga penghargaan Sarung Tangan Emas musim lalu. Ia cukup gemilang mengawal gawang Liverpool dengan beberapa penyelamatan gemilang, meski diselingi beberapa keteledoran juga.
Namun, absennya Alisson harus diakui turut berperan atas turunnya kepercayaan diri lini belakang Liverpool, termasuk bek terbaik dunia versi FIFA Virgil van Dijk yang kini tak lagi jadi sosok tak terkalahkan, meski masih cukup solid untuk ukuran bek standard Liga Premier.
Kabar baik bagi Klopp, sebab sepekan terakhir selama jeda internasional Alisson diketahui telah mengikuti sesi latihan Liverpool secara penuh. Artinya, bukan tidak mungkin Old Trafford bakal menjadi panggung kembalinya legiun Brasil itu menjadi pengawal gawang Liverpool.
Kendati Liverpool dan MU kini terpaut 15 poin, pertemuan kedua tim tetap menjadi laga sarat gengsi.
Selain gengsi, bagi Liverpool kemenangan di Old Trafford berarti mereka menyamai rekor 17 kemenangan beruntun yang dimiliki oleh Manchester City sekaligus memperpanjang catatan sapu bersih demi satu langkah lebih dekat untuk mengubah jargon "musim depan milik kami" menjadi "musim ini milik kami".
Macetnya "roda" Ole
Hanya sehari setelah Mourinho dipecat, MU segera menunjuk Ole Gunnar Solskjaer sebagai pelatih interim per 19 Desember 2018.
Masa kepelatihan interim diwarnai raihan positif yakni 14 kemenangan dari 19 pertandingan yang dijalani. Keberhasilan Solskjaer memimpin MU menciptakan comeback di putaran 16 besar Liga Champions kontra Paris Saint-Germain jelas menjadi raihan terbaiknya di MU, yang belakangan mengantarkannya mendapat kontrak permanen berdurasi tiga tahun.
Kepemimpinan Solskjaer di MU sempat disambut dengan chant dari para suporter berupa jargon "Ole's at the wheel" atau menggambarkan kepercayaan bahwa sosok legendaris pahlawan juara Liga Champions 1999 itu bakal menjalankan roda Setan Merah menuju ke arah kesuksesan lagi.
Ironisnya, beberapa pekan sebelum memperoleh kontrak permanen MU menelan kekalahan 0-2 dari Arsenal. Tren buruk berlanjut, dan Solskjaer hanya meraih dua kemenangan dan dua hasil imbang dari delapan pertandingan sisa Liga Premier 2018/19 serta kalah dua laga beruntun kontra Barcelona di perempat final Liga Champions.
Harapan MU sempat melambung lagi setelah mereka mendatangkan bek kanan Aaron Wan-Bissaka dan bek tengah Harry Maguire serta sayap remaja Daniel James. Nama kedua didatangkan sebagai bek termahal di dunia.
Optimisme di kubu Setan Merah kian menjadi-jadi ketika mereka sukses melumat Chelsea 4-0 di Old Trafford pada pekan pembuka, seolah mengabaikan lawannya dilatih manajer baru yang perlu penyesuaian dengan skuat muda dan dikenai sanksi larangan transfer selama setahun.
Namun, optimisme yang terlalu melambung terkadang meninggalkan rasa sakit yang lebih mendalam ketika dihempaskan dalam waktu cepat. Dan itu terjadi di MU.
Selepas kemenangan gemilang kontra Chelsea, MU baru sekali menang lagi hingga memasuki pekan kedelapan Liga Inggris dan kini tertahan di urutan ke-12 dengan raihan sembilan poin atau hanya berjarak dua poin dari zona degradasi.
Hasil itu dibarengi dengan raihan yang tak terlalu menggembirakan di Liga Europa serta Piala Liga Inggris, menimbulkan perbedaan opini terhadap Solskjaer tentang apakah ia masih pantas mengemban tugas sebagai manajer MU.
Roda yang dituntun Solskjaer untuk mengantarkan MU menuju jalur kesuksesan agaknya saat ini menemui kemacetan.
Ada perpecahan tentang betapa MU di bawah Solskjaer terlihat takut untuk melancarkan serangan bahkan ketika menghadapi tim yang di atas kertas kualitas permainannya di bawah mereka.
Namun, soal penyebabnya hampir semua suporter MU sepakat menuding nama di jajaran manajemen Ed Woodward sebagai biang kerok. Woodward dianggap tidak cukup memberikan senjata untuk Solskjaer, seolah suporter menutup mata akan kehadiran bek termahal di dunia dalam diri Maguire.
Jika menilik statistik, raihan Solksjaer dalam 40 pertandingan ia memimpin MU bahkan inferior dibandingkan David Moyes yang dianggap sosok gagal meski bersematkan status The Choosen One karena dipilih langsung pelatih legendaris Sir Alex Ferguson sebagai penggantinya.
Moyes menangani MU selama 10 bulan dengan hasil 52,94 persen kemenangan dari 51 pertandingan yang dijalaninya. Sedangkan Solskjaer sejauh ini baru menjalani 40 pertandingan namun prosentase kemenangan cuma 47,5 persen atau 19 kali menang dan sembilan kali imbang.
Jika Solskjaer tak punya status sebagai legenda MU, rasanya hasil delapan pertandingan pertama musim ini sudah cukup jadi modal untuk manajemen klub menendangnya dari jabatan manajer di Old Trafford.
Suporter MU mungkin masih menaruh kepercayaan terhadap Solskjaer, namun kesabaran manajemen tak bisa disamakan.
MU wajib meraih hasil positif kala menjamu Liverpool di Old Trafford, jika Solskjaer tak mau posisinya kian tertekan.
Solskjaer harus ingat, sosok yang ia gantikan dipecat setelah kalah melawan Liverpool.
Liga Inggris - MU vs Liverpool, rivalitas lama terpaut 15 poin
Rabu, 16 Oktober 2019 18:11 WIB
Dinamika Liverpool bagi sebagian besar penikmat sepak bola, tentunya kecuali mereka yang membenci The Reds, menjadi sebuah pertunjukan keajegan sebuah sistem yang dibangun dengan kesabaran dan modal finansial yang tidak sedikit.