Tangerang (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan para tim penyusun rancangan UU KUHP telah membentuk peraturan pelaksana dan melakukan sosialisasi KUHP Nasional yang akan berlaku pada 2026.
“Karena dia (KUHP) mengubah paradigma kita dalam konteks hukum pidana, dan sampai sekarang ini kalau saya mau jujur, kita semua mau jujur, paradigma kita itu belum berubah,” kata Wamenkum Edward Omar saat memberikan materi kunci dalam Webinar Sosialisasi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP di Auditorium Prof. Muladi Politeknik Pengayoman Indonesia Tangerang, Banten, Kamis.
Ia mengatakan, sejak disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 dan diundangkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada satu tantangan besar yang menjadi visi dan misi KUHP nasional, yaitu mengubah paradigma hukum pidana.
Lalu dalam menerima paradigma baru itu tidaklah mudah, karena orientasinya itu tidak lagi meletakkan hukum pidana sebagai lex talionis atau sarana balas dendam, melainkan KUHP nasional menempatkan hukum pidana dengan tiga visi utama yang menjadi paradigma hukum pidana modern, yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
“Mengubah paradigma itu sulit, yang pertama menjadi sasaran itu adalah aparat penegak hukum, baru kemudian kita seluruh masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya.
Baca juga: Perkuat kualitas hukum, Kemenkumham gelar penyuluhan KUHP
Menurut Wamenkum, KUHP selain memberikan tantangan dalam mengubah paradigma hukum pidana, juga menyita waktu puluhan tahun dalam proses pembuatannya.
Jika dihitung sejak izin prakarsa di 1957 hingga disahkan pada akhir 2022, tercatat pembuatan KUHP berlangsung lebih dari 60 tahun.
“Tetapi kalau dihitung sejak rancangan pertama masuk ke DPR tahun 1963, berarti lamanya pembuatan itu 59 tahun,” kata Eddy.
Eddy menyatakan waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan KUHP tidaklah singkat, tetapi itu bukan sesuatu yang luar biasa. Karena tidak ada satu pun negara di dunia ini, ketika terlepas dari penjajahan, bisa menyusun KUHP dalam waktu singkat.
“Belanda yang hanya sebesar provinsi Jawa Barat, dia membutuhkan waktu 70 tahun untuk membuat Wetboek van Strafrecht (WvS). Jadi kalau kita 59 tahun itu sebetulnya tidak lama, meskipun dalam pembuatan UU kita itu termasuk sangat lama,” ujar Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini.
Baca juga: Pakar hukum nilai rumusan pasal santet perlu dihapus dari RUU KUHP
Adapun penyebab lama, memakan waktu, menyita tenaga dan pikiran karena menyusun KUHP di negara yang multietnis, multireligi, multikultur seperti Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Perdebatan itu 'memakan' waktu berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Bahkan silang pendapat itu tidak hanya antara para pembentuk UU dengan masyarakat, perdebatan itu tidak hanya antara pemerintah dan DPR, tetapi perdebatan itu juga sengit memakan waktu antara kami para tim ahli (penyusun KUHP),” kata Eddy.
Sementara itu Kepala BPSDM Hukum Kementerian Hukum Gusti Ayu Putu Suwardani mengatakan webinar ini tidak hanya berfungsi sebagai media edukasi, tetapi juga sebagai ruang diskusi untuk menyamakan persepsi dan mengidentifikasi tantangan yang mungkin muncul dalam penerapannya.
“Melalui pendekatan yang inklusif dan informatif, webinar ini diharapkan dapat mendorong sinergi antara pemerintah, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat dalam mewujudkan rencana implementasi KUHP yang efektif dan berkeadilan di awal tahun 2026 yang akan datang,” ujarnya.
Baca juga: Guru Besar Undip Prof Barda: KUHP lama belum terintegrasi nilai-nilai Pancasila