Masyarakat Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, beramai-ramai pergi ke ladang pada pagi hari, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga usia lanjut.
Mereka berjalan kaki ke ladang di sekitar kawasan hutan tanah hak ulayat adat seluas 5.100 hektare di Pegunungan Kendeng.
Ada juga di luar kawasan adat, seperti lahan milik sendiri, menyewa, dan menggarap lahan orang lain, termasuk lahan milik Perhutani.
Masyarakat Badui tidak ada yang menganggur karena mereka bercocok tanam di ladang -ladang.
Mereka juga menggarap ladang di luar kawasan adat dengan mendirikan bangunan rumah kecil atau rumah saung untuk ditempati bersama anggota keluarga.
Rumah saung itu terbuat dari atap kiray, dinding dan hamparan amben dari bambu dan penyangga atap dari kayu.
Mereka menempati rumah saung itu saat kembali ke kampung di pemukiman Badui pada waktu-waktu tertentu, seperti perayaan adat maupun pernikahan keluarga.
Lokasi ladang di luar kawasan hak ulayat adat itu tersebar di sekitar hutan di Kecamatan Cirinten, Bojongmanik, Sobang, Muncang, Cimarga, Cileles dan Gunungkencana.
Masyarakat Badui bercocok tanam pertanian di kawasan hutan dengan kondisi topografi perbukitan dan pegunungan.
Baca juga: Pemukiman Badui jadi destinasi utama isi liburan di Lebak
Berdasarkan tradisi pertanian, setiap tahun mereka saling berganti lokasi, namun tidak jauh dari lokasi sebelumnya.
Perpindahan lokasi ladang itu merupakan warisan leluhur agar hasil pertanian melimpah.
Setiap membuka ladang dilakukan pembakaran pepohonan dan ilalang. Sisa limbah pembakaran pepohonan dan ilalang itu bersifat sebagai pupuk organik sehingga bisa menyuburkan lahan pertanian.
Di ladang-ladang itu mereka menanam beraneka tanaman mulai padi, tebu telur, jahe, kencur, pisang, sayuran, dan umbi-umbian, serta tanaman keras dengan sistem tanam tumpang sari.
Hasil tanaman tumpang sari itu bisa memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat Badui.
Masyarakat Badui dilarang adat bercocok tanam di lahan areal persawahan dengan menggunakan cangkul dan traktor.
Mereka menggarap lahan pertanian di lahan darat atau ladang yang menjadi andalan pangan dan ekonomi keluarga. Gabah hasil panen disimpan di lumbung untuk cadangan pangan keluarga.
Tanaman lainnya, seperti sayuran, umbi-umbian, kencur, jahe, dan pisang menghasilkan pendapatan ekonomi bulanan, tiga bulan, delapan bulan, 12 bulan, sedangkan tanaman keras seperti mahoni serta albasia memberikan hasil lima tahunan.
"Semua kebutuhan hidup dan ekonomi warga Badui dipenuhi dari bercocok tanam di ladang," kata tetua adat Badui yang juga Kepala Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Jaro Saija kepada ANTARA.
Baca juga: 10 Kekayaan Intelektual Komunal Banten terdaftar di Kemenkumham
Gerakan tanam
Jaro Saija mengajak warganya mengoptimalkan gerakan tanam menghadapi dampak El Nino atau kekeringan yang puncaknya diperkirakan terjadi pada Agustus-September 2023.
Gerakan tanam wajib bagi masyarakat Badui karena dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dan peningkatan pendapatan ekonomi, terlebih menghadapi dampak El Nino.
Kini masyarakat Badui tengah melakukan penanaman kencur, jahe, pisang, umbi-umbian dan aneka jenis sayuran di ladang.
Selain itu masyarakat Badui memasuki persiapan tanam padi di huma dengan melakukan pembukaan hutan di sekitar tanah hak ulayat adat serta di luar kawasan adat.
"Kami berharap dengan optimalnya gerakan penanaman itu bisa memenuhi ketersediaan pangan keluarga dan peningkatan pendapatan ekonomi," kata Jaro Saija.
Warga Badui berjumlah 3.000 kepala keluarga atau sekitar 15.600 jiwa tersebar di 58 kampung, dan mengandalkan kehidupan ekonomi dari hasil pertanian ladang.
Masyarakat adat di sini belum pernah mengalami kerawanan pangan, karena mengoptimalkan gerakan tanam baik pada musim kemarau maupun musim hujan.
"Hampir setiap hari kami memasok produksi hasil pertanian ladang ke sejumlah pasar lokal hingga luar daerah,"kata Jaro Saija.
Baca juga: Tetua Badui ajak warganya optimalkan gerakan tanam hadapi El Nino
6.000 lumbung
Masyarakat Badui memiliki stok pangan yang relatif aman karena tersedia 6.000 lumbung atau "leuit" untuk menyimpan gabah hasil panen huma.
Sejak dulu masyarakat Badui memiliki lumbung rata-rata dua lumbung setiap kepala keluarga dengan menyimpan gabah sekitar tiga ton.
Saat ini masyarakat Badui berjumlah 3.000 KK, sehingga total memiliki 6.000 lumbung, dengan jumlah gabah yang disimpan sebanyak 18.000 ton.
Sejak nenek moyang hingga kini masyarakat Badui memiliki ketahanan pangan yang kuat dengan menyimpan hasil panen gabah huma ke lumbung yang dibangun di belakang permukiman.
Lumbung terbuat dari atap ijuk dan dinding bambu serta kayu laban, sehingga tikus tidak bisa masuk.
Dalam lumbung itu gabah bisa bertahan puluhan tahun dalam kondisi baik.
Selama ini masyarakat Badui belum pernah mengalami kelaparan karena memiliki pertahanan lumbung itu.
Santa (55), warga Badui mengaku melakukan gerakan tanam jahe, pisang, dan kencur yang menjadi andalan ekonomi keluarga.
Selain itu ia juga membuka hutan dengan membabat pepohonan dan ilalang untuk bercocok tanam padi huma.
Awal masa tanam padi huma berdasarkan kalender adat dilakukan pada September mendatang.
"Pada awal Juli 2023 kami menjual hasil panen jahe dan kencur yang menghasilkan pendapatan Rp17 juta dan bisa menyumbang biaya perbaikan rumah anak di kampung," kata Santa.
Baca juga: Tersedia 6000 lumbung, warga Badui jamin stok pangan aman
Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak Deni Iskandar mengapresiasi gerakan penanaman yang dilakukan masyarakat Badui sehingga dapat memenuhi ketersediaan pangan.
Masyarakat Badui belum pernah mengalami masa paceklik atau kekurangan pangan akibat kemarau panjang maupun serangan hama.
Mengingat jumlah populasi penduduk yang cenderung meningkat masyarakat Badui meminta perluasan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian dan ekonomi masyarakat.
Permohonan perluasan lahan pertanian itu sudah disampaikan kepada kepada Gubernur Banten dan Bupati Lebak.
Penyampaian permohonan itu dilakukan melalui kegiatan acara Seba Tahunan yang dilaksanakan masyarakat Badui kepada kepala pemerintahan.
Lahan pertanian di kawasan hak tanah ulayat adat relatif terbatas , sehingga dikhawatirkan terjadi kerawanan pangan pada masa depan.
Selama ini, lahan pertanian di kawasan Badui tidak sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Untuk menyiasati ketahanan pangan, masyarakat Badui diimbau untuk membeli lahan pertanian di luar kawasan adat.
"Kami minta hasil berjualan kerajinan dan pertanian bisa dikumpulkan untuk membeli lahan pertanian," kata Jaro Tangtu Badui Dalam Kampung Cibeo Ayah.
Mereka berjalan kaki ke ladang di sekitar kawasan hutan tanah hak ulayat adat seluas 5.100 hektare di Pegunungan Kendeng.
Ada juga di luar kawasan adat, seperti lahan milik sendiri, menyewa, dan menggarap lahan orang lain, termasuk lahan milik Perhutani.
Masyarakat Badui tidak ada yang menganggur karena mereka bercocok tanam di ladang -ladang.
Mereka juga menggarap ladang di luar kawasan adat dengan mendirikan bangunan rumah kecil atau rumah saung untuk ditempati bersama anggota keluarga.
Rumah saung itu terbuat dari atap kiray, dinding dan hamparan amben dari bambu dan penyangga atap dari kayu.
Mereka menempati rumah saung itu saat kembali ke kampung di pemukiman Badui pada waktu-waktu tertentu, seperti perayaan adat maupun pernikahan keluarga.
Lokasi ladang di luar kawasan hak ulayat adat itu tersebar di sekitar hutan di Kecamatan Cirinten, Bojongmanik, Sobang, Muncang, Cimarga, Cileles dan Gunungkencana.
Masyarakat Badui bercocok tanam pertanian di kawasan hutan dengan kondisi topografi perbukitan dan pegunungan.
Baca juga: Pemukiman Badui jadi destinasi utama isi liburan di Lebak
Berdasarkan tradisi pertanian, setiap tahun mereka saling berganti lokasi, namun tidak jauh dari lokasi sebelumnya.
Perpindahan lokasi ladang itu merupakan warisan leluhur agar hasil pertanian melimpah.
Setiap membuka ladang dilakukan pembakaran pepohonan dan ilalang. Sisa limbah pembakaran pepohonan dan ilalang itu bersifat sebagai pupuk organik sehingga bisa menyuburkan lahan pertanian.
Di ladang-ladang itu mereka menanam beraneka tanaman mulai padi, tebu telur, jahe, kencur, pisang, sayuran, dan umbi-umbian, serta tanaman keras dengan sistem tanam tumpang sari.
Hasil tanaman tumpang sari itu bisa memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat Badui.
Masyarakat Badui dilarang adat bercocok tanam di lahan areal persawahan dengan menggunakan cangkul dan traktor.
Mereka menggarap lahan pertanian di lahan darat atau ladang yang menjadi andalan pangan dan ekonomi keluarga. Gabah hasil panen disimpan di lumbung untuk cadangan pangan keluarga.
Tanaman lainnya, seperti sayuran, umbi-umbian, kencur, jahe, dan pisang menghasilkan pendapatan ekonomi bulanan, tiga bulan, delapan bulan, 12 bulan, sedangkan tanaman keras seperti mahoni serta albasia memberikan hasil lima tahunan.
"Semua kebutuhan hidup dan ekonomi warga Badui dipenuhi dari bercocok tanam di ladang," kata tetua adat Badui yang juga Kepala Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Jaro Saija kepada ANTARA.
Baca juga: 10 Kekayaan Intelektual Komunal Banten terdaftar di Kemenkumham
Gerakan tanam
Jaro Saija mengajak warganya mengoptimalkan gerakan tanam menghadapi dampak El Nino atau kekeringan yang puncaknya diperkirakan terjadi pada Agustus-September 2023.
Gerakan tanam wajib bagi masyarakat Badui karena dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dan peningkatan pendapatan ekonomi, terlebih menghadapi dampak El Nino.
Kini masyarakat Badui tengah melakukan penanaman kencur, jahe, pisang, umbi-umbian dan aneka jenis sayuran di ladang.
Selain itu masyarakat Badui memasuki persiapan tanam padi di huma dengan melakukan pembukaan hutan di sekitar tanah hak ulayat adat serta di luar kawasan adat.
"Kami berharap dengan optimalnya gerakan penanaman itu bisa memenuhi ketersediaan pangan keluarga dan peningkatan pendapatan ekonomi," kata Jaro Saija.
Warga Badui berjumlah 3.000 kepala keluarga atau sekitar 15.600 jiwa tersebar di 58 kampung, dan mengandalkan kehidupan ekonomi dari hasil pertanian ladang.
Masyarakat adat di sini belum pernah mengalami kerawanan pangan, karena mengoptimalkan gerakan tanam baik pada musim kemarau maupun musim hujan.
"Hampir setiap hari kami memasok produksi hasil pertanian ladang ke sejumlah pasar lokal hingga luar daerah,"kata Jaro Saija.
Baca juga: Tetua Badui ajak warganya optimalkan gerakan tanam hadapi El Nino
6.000 lumbung
Masyarakat Badui memiliki stok pangan yang relatif aman karena tersedia 6.000 lumbung atau "leuit" untuk menyimpan gabah hasil panen huma.
Sejak dulu masyarakat Badui memiliki lumbung rata-rata dua lumbung setiap kepala keluarga dengan menyimpan gabah sekitar tiga ton.
Saat ini masyarakat Badui berjumlah 3.000 KK, sehingga total memiliki 6.000 lumbung, dengan jumlah gabah yang disimpan sebanyak 18.000 ton.
Sejak nenek moyang hingga kini masyarakat Badui memiliki ketahanan pangan yang kuat dengan menyimpan hasil panen gabah huma ke lumbung yang dibangun di belakang permukiman.
Lumbung terbuat dari atap ijuk dan dinding bambu serta kayu laban, sehingga tikus tidak bisa masuk.
Dalam lumbung itu gabah bisa bertahan puluhan tahun dalam kondisi baik.
Selama ini masyarakat Badui belum pernah mengalami kelaparan karena memiliki pertahanan lumbung itu.
Santa (55), warga Badui mengaku melakukan gerakan tanam jahe, pisang, dan kencur yang menjadi andalan ekonomi keluarga.
Selain itu ia juga membuka hutan dengan membabat pepohonan dan ilalang untuk bercocok tanam padi huma.
Awal masa tanam padi huma berdasarkan kalender adat dilakukan pada September mendatang.
"Pada awal Juli 2023 kami menjual hasil panen jahe dan kencur yang menghasilkan pendapatan Rp17 juta dan bisa menyumbang biaya perbaikan rumah anak di kampung," kata Santa.
Baca juga: Tersedia 6000 lumbung, warga Badui jamin stok pangan aman
Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak Deni Iskandar mengapresiasi gerakan penanaman yang dilakukan masyarakat Badui sehingga dapat memenuhi ketersediaan pangan.
Masyarakat Badui belum pernah mengalami masa paceklik atau kekurangan pangan akibat kemarau panjang maupun serangan hama.
Mengingat jumlah populasi penduduk yang cenderung meningkat masyarakat Badui meminta perluasan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi pertanian dan ekonomi masyarakat.
Permohonan perluasan lahan pertanian itu sudah disampaikan kepada kepada Gubernur Banten dan Bupati Lebak.
Penyampaian permohonan itu dilakukan melalui kegiatan acara Seba Tahunan yang dilaksanakan masyarakat Badui kepada kepala pemerintahan.
Lahan pertanian di kawasan hak tanah ulayat adat relatif terbatas , sehingga dikhawatirkan terjadi kerawanan pangan pada masa depan.
Selama ini, lahan pertanian di kawasan Badui tidak sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Untuk menyiasati ketahanan pangan, masyarakat Badui diimbau untuk membeli lahan pertanian di luar kawasan adat.
"Kami minta hasil berjualan kerajinan dan pertanian bisa dikumpulkan untuk membeli lahan pertanian," kata Jaro Tangtu Badui Dalam Kampung Cibeo Ayah.
"