Tangerang, Banten (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies (CUS) Abdul Hakim Idris menyatakan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menimpa etnik Uyghur di Daerah Otonomi Xinjiang China (atau di Turkestan Timur, versi para tokoh Uyghur) perlu mendapatkan perhatian internasional.
Berbicara pada seminar internasional bertema “Indonesian Humanitarian Responses on Uyghur” di Kampus FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Senin (3/4/2023), Idris menilai negara-negara Muslim umumnya belum memberikan posisi tegas dalam bersikap terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah China terhadap etnik Uyghur.
Selain Direktur Eksekutif CUS, para pembicara pada seminar internasional itu adalah mantan Dubes RI untuk Uzbekistan Mohamad Asruchin, Tokoh Angkatan Belia Islam Malaysia Mohd Khairul Anwar, Dosen UMJ Dr Asep Setiawan MA, dan Wartawan Senior Aat Surya Safaat dengan moderator Ali Noer Zaman MA (Dosen UMJ).
Menurut Idris, bagi China dan dunia internasional, masalah etnis Uighur yang mayoritas Muslim merupakan isu panas. Belakangan sorotan mengarah pada keberadaan "kamp" pendidikan vokasi sebagaimana yang diklaim Pemerintah China, atau "kamp konsentrasi" jika merujuk istilah yang digunakan media internasional dan para pegiat hak asasi manusia.
Berbagai peraturan yang diberlakukan Pemerintah China terhadap etnis Uighur di Xinjiang juga menuai kritik dunia internasional, terutama terkait larangan untuk menjalankan tradisi dan keyakinan, sesuatu yang dibantah oleh China.
Etnik Uyghur itu sendiri adalah kelompok etnis Turki yang secara budaya berafiliasi dengan wilayah umum Asia Tengah dan Timur. Uyghur diakui sebagai penduduk asli Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di China Barat Laut.
Mereka adalah salah satu dari 55 etnis minoritas yang diakui secara resmi di China. Uyghur yang mayoritas Muslim diakui oleh pemerintah China sebagai minoritas regional dan orang tituler Xinjiang.
Etnik Uyghur secara tradisional menghuni serangkaian oasis yang tersebar di Gurun Taklamakan di dalam Cekungan Tarim. Total populasi etnis Uyghur di China sekitar 12,8 juta jiwa. Selain itu, diaspora Uyghur tersebar di seluruh dunia.
Direktur Eksekutif CUS lebih lanjut mengemukakan, dukungan negara-negara Muslim sangat penting dalam upaya melindungi etnik Uyghur Muslim di China dari “ethnic cleansing” (pembersihan etnis).
Namun sejauh ini dukungan negara-negara Muslim masih lemah, antara lain karena adanya diplomasi ekonomi dari China. Padahal dukungan umat Islam di berbagai negara itu sangat penting agar masalah Uyghur mendapatkan perhatian internasional dan China mengubah kebijakannya yang menekan etnik Uyghur.
Masyarakat Uyghur, menurut Idris mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari Pemerintah China. Hal itu tampak dari berbagai larangan terhadap umat Islam Uyghur yang ingin menjalankan ibadahnya, sehingga diaspora Uyghur melakukan mobilisasi dalam mencari dukungan internasional.
“Dalam kaitan ini saya mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Muslim Indonesia yang memberikan perhatian dan dukungan terhadap perjuangan warga Uyghur,” kata tokoh Uyghur yang baru datang di Indonesia bersama beberapa rekan seperjuangannya itu.
Idris selama beberapa tahun terakhir tinggal di Washington DC, sementara beberapa rekannya berdomisili di kota-kota lainnya di Amerika serta di Kanada. Mereka umumnya sudah tidak bisa lagi berkomunikasi dengan kerabat bahkan dengan orangtuanya masing-masing di Xinjiang akibat adanya pembatasan yang dilakukan Pemerintah China.
Dukungan Malaysia
Kembali terkait seminar internasional tentang Uyghur, Tokoh Angkatan Belia Islam Malaysia Mohd Khairul Anwar menyatakan, Pemerintah Malaysia memberikan sikap yang tegas mendukung Uyghur dengan memberikan peluang untuk mengungsi ke negara dunia ketiga.
“Masyarakat Muslim Malaysia juga melihat bahwa Muslim Uyghur adalah saudara-saudara kita sesama Muslim, dan karenanya harus kita bela. Mereka saat ini mengalami kesulitan dalam melaksanakan ajaran agama dan mempertahankan identitas budayanya,” kata Khairul Anwar.
Sementara itu mantan Dubes RI untuk Uzbekistan Mohamad Asruchin mengemukakan, China sangat berkepentingan menguasai Xinjiang karena daerah otonom itu letaknya strategis di daerah paling barat China.
Daerah itu juga merupakan hub ekpsor untuk kepentingan One Belt One Road (OBOR) yang dianggap merupakan Jalur Sutra modern China ke negara-negara Eropa. OBOR itu sendiri kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI).
Pada kesempatan yang sama, Dosen UMJ Dr Asep Setiawan menyatakan bersyukur bahwa Ummat Islam serta Ormas-ormas besar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah memberikan dukungan bagi perjuangan Muslim Uyghur untuk mendapatkan keadilan di bumi tempat kelahirnnya sendiri.
Di sisi lain, Asep menilai, Pemeritah Indonesia masih saangat berhati-hati dalam memberikan respons terhadap masalah pelanggaran HAM di Uyghur, bahkan terlihat cenderung bersikap diam atas beragai peristiwa kemanusiaan yang terjadi di Uyghur.
Narasumber lain, Wartawan Senior Aat Surya Safaat mengemukakan, Pemerintah Indonesia perlu mendorong Pemerintah China agar memfasilitasi lebih banyak wartawan Indonesia untuk mengunjungi Daerah Otonomi Xinjiang, khususnya kamp-kamp vokasi pendidikan di sana, karena pers bisa menjalankan “second track diplomacy”.
Pemerintah Indonesia juga perlu mendorong Pemerintah China agar memfasilitasi Ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Mathla’ul Anwar untuk berkunjung ke Xinjiang, khususnya ke kamp-kamp vokasi pendidikan guna meningkatkan pemahaman dan saling pengertian antar kedua bangsa/negara.
Pelanggaran HAM terhadap Etnik Uyghur Perlu Perhatian Internasional
Selasa, 4 April 2023 16:06 WIB
Selain Direktur Eksekutif CUS, para pembicara pada seminar internasional itu adalah mantan Dubes RI