Tangerang (ANTARA) - Kegiatan bisnis para pengusaha di era globalisasi semakin kompetitif dan dinamis. Oleh sebab itu pajak selalu sensitif merespon untuk kemudahan berusaha para pelaku usaha melalui amandemen Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan terakhir dilengkapi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Harta menjadi kekayaan utama Wajib Pajak (WP) dalam kegiatan operasional memerlukan aturan yang dapat mengakomodir konsep principle based atau sesuai pembukuan WP.
Baca juga: Pendapatan asli daerah Tangerang di sektor pajak lampau target
Beban penyusutan merupakan beban yang tidak memerlukan pengeluaran uang kas (non-cash outlay expense). Penyusutan bukanlah proses dimana perusahaan mengakumulasikan dana (kas) untuk mengganti aset tetapnya. Penyusutan adalah alokasi secara periodik dan sistematis dari harga perolehan aset selama periode-periode berbeda yang memperoleh manfaat dari penggunaan aset bersangkutan.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 17 istilah penyusutan berarti pengalokasian jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Besarnya penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain pajak mengartikan penyusutan dilakukan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Pembebanan penyusutan merupakan pengakuan terjadinya penurunan nilai atas potensi manfaat (jasa) suatu aset. Pengalokasian beban penyusutan mencakup beberapa periode pendapatan sehingga banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh manajemen untuk menghitung besarnya beban penyusutan periodik secara tepat, dimana banyak faktor yang memengaruhi di antaranya nilai perolehan aset (asset cost), nilai residu atau nilai sisa (residual or salvage value), umur ekonomis (economic life) dan pola pemakaian (pattern of use).
Pengaturan substansi terkait harta dalam ketentuan pajak mengandung 4 (empat) asas atau prinsip. Pertama, historical cost yakni penilaian aset yang disusutkan menggunakan harga perolehan. Kedua, asas preferensi dimana jika aturan pajak mengatur khusus maka tidak berlaku ketentuan dalam PSAK seperti pajak tidak mengenal nilai sisa karena prinsip penyusutan merupakan mekanisme pengalokasian biaya yang dikeluarkan atas perolehan harta berwujud selama masa manfaat dari harta berwujud tersebut. Ketiga, matching cost against revenue bahwa pengeluaran digunakan untuk memperoleh pendapatan yang objek pajak dan tidak final. Keempat, rule based yaitu ketentuan penyusutan diatur tata caranya berdasarkan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
Berikutnya penyusutan pada prinsipnya dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk 3 (tiga) hal. Pertama, harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
Kedua, dimulai pada bulan harta tersebut digunakan atau mulai menghasilkan dengan persetujuan dari Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat WP terdaftar yang harus disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya tahun pajak dilakukannya pengeluaran atau selesainya pengerjaan harta. Ketiga, dimulai pada bulan produksi komersial bagi WP yang merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu yakni kehutanan, perkebunan tanaman keras, dan peternakan tanpa perlu ada pemberitahuan atau permohonan.
Dalam rangka memberikan keseragaman, Menteri Keuangan telah mengatur lebih lanjut sesuai amanah UU PPh masa manfaat jenis-jenis harta berwujud tanpa membedakan jenis usaha ke dalam 4 (empat) Kelompok yakni Kelompok 1 (4 tahun), Kelompok 2 (8 tahun), Kelompok 3 (16 tahun), dan Kelompok 4 (20 tahun) dan bagi yang tidak tercantum masuk dalam Kelompok 3.
Hal berbeda untuk harta berwujud berupa bangunan yang hanya terdiri dari 2 (dua) Kelompok yakni tidak permanen dengan masa manfaat 10 tahun atau permanen dengan masa manfaat 20 tahun. Hal baru yang diatur khusus dalam UU HPP yaitu apabila bangunan permanen mempunyai masa manfaat melebihi 20 tahun, WP dapat memilih sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan WP, cukup dengan menyampaikan pemberitahuan kepada KPP.
Saat dimulainya penyusutan serta masa manfaat harus sesuai dengan ketentuan yang diatur atau berdasarkan pembukuan WP namun harus melalui permohonan. Namun dengan adanya UU HPP relaksasi diberikan untuk saat dimulainya penyusutan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu serta masa manfaat untuk bangunan permanen dengan masa manfaat melebihi 20 tahun.
*) Penulis adalah Penyuluh Pajak Ahli Muda KPP Madya Dua Tangerang
*) tulisan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili institusi tempat berkerja penulis.