Kumis tipis yang lurus serta sorot matanya yang tajam seperti menggambarkan sikap dan pikirannya yang berani dan tegas, untuk membela dan memperjuangkan hak-hak masyarakat bumiputra (penduduk asli) dari cengkeraman penjajah Belanda saat itu.
Gaya orasinya yang lantang dan lugas, mampu menghipnotis dan membangkitkan semangat perjuangan ribuan masyarakat yang hadir dalam pertemuan organisasi Sarekat Islam (SI) yang dipimpinnya. Sekalipun keturunan dari bangsawan, dia tetap hormat dan menghargai masyarakat kecil. Setiap perkataanya mengandung nilai-nilai keagamaan dan memberi pencerahan untuk perjuangan nasib kaum bumiputra.
Demikian sebagian gambaran sosok pahlawan nasional Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto yang diperankan bintang film Reza Rahadian dalam sebuah film layar lebar karya Sutradara Garin Nugroho berjudul "Guru Bangsa Tjokroaminoto".
Film bergenre drama biografi salah seorang pahlawan nasional itu, setidaknya memberikan gambaran yang jelas bahwa untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil yang tertindas membutuhkan keberanian, kerja keras, idealisme, strategi, dan pemikiran yang jernih. Sekalipun Tjokroaminoto hidup penuh dengan ancaman dan intimidasi Belanda, dia tetap konsisten terus berjuang membela dan mencerdaskan rakyat bumiputra termasuk melalui tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar pada masa itu.
"Melalui film ini, kami ingin menyuguhkan kepada masyarakat Indonesia terutama generasi muda, supaya mengenang dan mencontoh semangat dari nilai-nilai perjuangan para pahlawan," kata Sutradara Garin Nugroho sebelum nonton bareng film tersebut bersama Pelaksana Tugas Gubernur Banten Rano Karno dan para jurnalis Banten di salah satu bioskop, di Kota Cilegon, Rabu(22/4) malam.
Dalam film yang juga dibintangi sejumlah artis ternama, seperti Christine Hakim, Didi Petet, Chelsea Islan, dan artis lainnya. Tjokroaminoto yang terlahir dari kaum bangsawan Jawa dengan latar belakang keislaman yang sangat kuat, rela 'berhijrah' dari keluarga yang hidup berkecukupan dan terbilang mewah, untuk bekerja menjadi buruh di sebuah pelabuhan. Ia menyaksikan langsung penderitaan masyarakat kecil yang mengalami kerja paksa dan penyiksaan bangsa Belanda.
Dari berbagai pengalaman dengan berpindah-pindah tempat serta menjadi seorang penulis surat kabar, Tjokroaminoto kemudian mendirikan sebuah organisasi besar Sarekat Islam (SI) dengan cabang organisasi di berbagai kota di Nusantara. Organisasi SI tersebut sebagai wadah untuk menguatkan perjuangan beliau, dalam membela hak-hak rakyat seperti pendidikan dan kepemilikan tanah yang dikuasai Belanda waktu itu.
Setiap kunjungannya ke daerah-daerah, Tjokroaminoto juga meminta masyarakat untuk mendirikan koperasi sebagai wadah untuk menampung hasil kekayaan alam yang diolah masyarakat.
Perjuangan Tjokroaminoto lewat organisasi Sarekat Islam juga bertujuan memberikan penyadaran dan pencerahan kepada masyarakat, serta mengangkat harkat, martabat, dan menyatukan kaum bumiputra agar terbebas dari kebodohan, kemiskianan, ketertinggalan, dan penindasan bangsa Belanda.
Rumah Tjokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya, Jawa Timur, menjadi tempat bertemunya kaum muda yang kemudian menjadi tokoh-tokoh pendiri bangsa Indonesia, termasuk Soekarno atau disebut Kusno dalam film tersebut.
"Setelah menonton film ini, banyak orang yang mendatangi bekas rumah Tjokroaminoto yang disebut 'Rumah Paneleh' di Surabaya. Mereka sebelum menonton film ini tidak tahu kalau rumah itu rumahnya Tjokroaminoto," kata Garin Nugroho.
Di rumah sederhana yang berfungsi sebagai indekos kaum muda dari sejumlah daerah yang dibina oleh istrinya, Suharsikin diperankan Putri Ayudya dalam film tersebut, Tjokroaminoto juga mempunyai banyak murid muda selain Soekarna/Kusno yang diperankan artis Deva Mahendra. Rumah tersebut menjadi tempat belajar orasi kaum muda lainnya, seperti Agus Salim diperankan Ibnu Jamil, Semaoen oleh Tanta Ginting dan Musso diperankan Ade Firman Hakim.
Walaupun dalam perjalannya meneruskan perjuangan Tjokroaminoto, kaum muda yang belajar di 'Rumah Peneleh' itu, menempuh jalan masing-masing karena berbeda cara dan sudut pandang dalam memperjuangkan rakyat kecil.
Sutradara Garin Nugroho mengakui sedikit kesulitan dalam menggarap film tersebut, salah satu diantaranya karena harus menghadirkan dan menggambarkan Kota Surabaya masa lalu, dengan segala infrastruktur pelengkapnya. Hingga akhirnya Kota Surabaya di sekitar tahun 1920-an itu, dibangun dalam sebuah studio di Yogyakarta.
"Kota Surabaya masa lalu itu kemudian saya bangun dalam sebuah studio," kata Garin Nugroho didampingi sejumlah artis dan salah seorang produser film tersebut Dewi Umaya Rachman.
Menjelang FFI Banten
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten Rano Karno menghadirkan sejumlah bintang film dan sutradara film tersebut ke Banten, kemudian mengajak nonton bersama awak media dan pejabat di Banten, film "Guru Bangsa Tjokroaminoto" tersebut, di salah satu bioskop, Kota Cilegon.
Rano Karno berharap, film nasional yang relatif banyak memberikan inspirasi dan teladan dari nilai-nilai kepahlawanan itu bukan hanya sekadar tontonan, melainkan menjadi tuntunan bagi generasi bangsa agar mencintai tanah air, memperkuat nasionalisme serta menumbuhkan nilai-nilai kepahlawanan yang saat ini hampir memudar.
"Saya ingin mengajak masyarakat Banten cinta film Indonesia. Apalagi, tahun ini Banten akan menjadi tuan rumah Festival Film Indonesia (FFI). Nonton film ini, sebagai pemanasan saja" kata Rano Karno di depan para wartawan dan para pejabat termasuk Kapolda Banten Brigjen Pol Boy Rafli Amar.
Dalam kesempatan tersebut, Rano Karno juga mengajak Garin Nugroho untuk mengangkat sisi lain dari nilai-nilai sejarah dan para pahlawan yang ada di Banten, seperti Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Nawawi Al-Bantani, serta cerita-cerita rakyat dan realitas masyarakat Banten yang terkenal dengan jawara dan ulamanya. Para pahlawan dan cerita rakyat di Banten tersebut diharapkan bisa diangkat menjadi sebuah film layar lebar.
Hal itu, menurut dia, diharapkan bisa membangkitkan semangat perjuangan, nasionalisme, serta bisa mencontoh nilai-nilai luhur sejarah bangsa Indonesia serta semangat para pahlawan, bagi generasi muda bangsa saat ini.
"Jika di tingkat nasional ada Festival Film Indonesia (FFI), kenapa tidak anak-anak muda di Banten membuat Festival Film Banten," kata Rano mengajak kaum muda di Banten untuk kreatif membuat film-film tentang pahlawan dan cerita rakyat di Banten.