Tangerang (Antara News) - Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo mengatakan, tingginya biaya perizinan masih menjadi kendala utama dalam pembangunan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
"Biaya perizinan bisa mencapai 5-7 persen dari harga rumah menjadi salah satu kendala yang memberatkan anggota Apersi untuk membangun rumah murah yang terjangkau MBR," kata Eddy di Tangerang, Rabu.
Persoalan mahalnya biaya perizinan ini juga dibahas dalam Musda Apersi Banten yang diselenggarakan di Hotel Great Western Serpong Tangerang Banten.
Menurutnya, harga rumah sudah dipatok pemerintah melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat dari harga Rp88 juta sampai 145 juta, sehingga apabila biaya perizinannya mahal tentunya akan mengganggu pengembang untuk pengadaan rumah murah.
Eddy mengatakan, pengembang anggota Apersi lebih memilih untuk membatasi pembangunan rumah murah (pasar MBR) menunggu iklim lebih kondusif praktis hal ini akan memperlambat penyediaan rumah murah.
Eddy mengatakan, dukungan dalam pembangunan rumah bagi MBR tidak bisa hanya dari pemerintah pusat saja, tetapi juga harus dari pemerintah daerah apalagi saat ini komponen bahan bangunan rumah mengalami kenaikan menyesuaikan kenaikan BBM.
“Kondisi demikian membuat konsumen ikut menunda untuk membeli rumah karena harganya tidak terjangkau,â€katanya.
Sementara itu ketua umum DPD Apersi Banten Vidi Surfiadi mengatakan, kebijakan pemerintah masih kurang memberikan dukungan kepada sektor perumahan MBR, sehingga menimbulkan ketidakstabilan iklim usaha perumahan.
"Seharusnya pengadaan rumah MBR menjadi tanggungjawab bersama. Terkait hal itu kami siap dialog terbuka diantara para pemangku dalam rangkaian melaksanakan pembangunan perumahan bagi masyarakat didaerah ini dengan suasana kebersamaan yang didasarkan pada asas kegotong royongan,†kata dia.
Artinya, masing-masing pihak sesuai dengan posisinya dapat memberikan kontribusi berupa kebijakan yang saling mendukung, sehingga program merumahkan rakyat ini menjadi “jargon†bagi Pemerintah Daerah Provinsi Banten beserta seluruh jajarannya.
Ia juga meminta kepada Pemprov Banten ikut berkomitmen dan memberikan dorongan agar sektor perumahan MBR di Banten ini bisa terwujud dengan baik. Seperti halnya komitmen pemprov DKI dalam rangka merumahkan warganya yang kurang mampu.
“Kita juga melihat tetangga Banten, yakni Pemda DKI Jakarta bersama para pengembang telah begitu giat membangun perumahan bagi masyarakat terutama bagi MBR dengan mengembangkan banyak Rumah Susun Sewa, dan Rumah Susun Milik,†kata dia.
Dengan adanya komitmen bersama, lanjut dia, ketertinggalan penyediaan atau (backlog) perumahan bagi rakyat, lambat laun akan semakin diperkecil, dan itu berarti mulai tergambar semakin meningkatnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Vidi mengakui Musda III Apersi Banten sekarang ini dilaksanakan dalam suasana iklim usaha pembangunan perumahan rakyat, terutama bagi MBR yang kurang kondusif, akibat kebijaksanaan sektoral dilingkungan para pemangku kepentingan, sehingga menimbulkan isntabilitas iklim usaha.
"Sengaja Musda kali ini mengambil tema "Meningkatkan Peran Serta Apersi Banten dan Para Pemangku Kepentingan untuk Bersinergi dalam Percepatan Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah".
Melalui tema tersebut kita mengingatkan kepada seluruh jajaran pemangku kepentingan di sektor perumahan, bahwa merumahkan rakyat terutama MBR merupakan tanggungjawab renteng para pemangku kepentingan, ujar dia.
Vidi mengatakan, jika semua pihak memiliki wawasan untuk merumahkan masyarakat di daerah ini merupakan bahagian dari pembangunan untuk mensejahterakan rakyat.
"Jika masing – masing daerah melakukan hal serupa, maka saya yakin ketertinggalan penyediaan†(backlog) perumahan bagi rakyat, lambat laun akan semakin diperkecil, dan itu berarti mulai tergambar semakin meningatnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat," ujar dia.
Biaya Perizinan Masih Jadi Kendala Rumah MBR
Kamis, 14 November 2013 15:30 WIB