"Saya ini punya obsesi untuk menjadi novelis seperti John Grisham, dari dulu saya selalu katakan itu. Ini langkah pertama untuk mengangkat pengalaman-pengalaman faktual saya di lapangan sebagai praktisi hukum ke panggung sastra,” ujar Todung dalam peluncuran novel perdana "Menunda Kekalahan", dikutip dari siaran resmi, Sabtu.
Baca juga: Aini, Siswi MAS MA Pasirdurung Pandeglang terbitkan tiga novel
“Saya ingin menulis novel yang lebih populer, yang lebih mudah dibaca, mudah dicerna. Mudah-mudahan ada tempatnya dalam belantika sastra Indonesia," kata dia.
Todung telah banyak menulis buku mengenai hukum ekonomi, hak asasi manusia, dan politik hukum. Disertasinya "In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990" menjadi buku rujukan hak asasi manusia karena merupakan buku tentang hak asasi manusia pertama yang diterbitkan pada masa Orde Baru yang menolak hak asasi manusia.
Inspirasi "Menunda Kekalahan" datang dari pengalaman Todung sebagai pembela kasus Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, yang dituduh menyeludupkan narkoba dan oleh pengadilan dijatuhi hukuman mati. Menulis novel ini sekaligus menjadi refleksi atas pengalamannya memperjuangkan penghapusan hukuman mati selama ini.
“Pendidikan hukum bisa dilakukan melalui teater, drama, atau juga novel. John Grisham menulis banyak sekali kasus-kasus hukum dalam bentuk novel yang menurut saya pembacanya cukup banyak. Itu bagian dari proses pendidikan hukum yang menurut saya tidak konvensional,” lanjut Todung.
“Novel 'Menunda Kekalahan' ini bisa jadi merupakan bagian dari proses pendidikan hukum itu, lepas dari setuju atau tidak setuju proses hukuman mati karena itu pada akhirnya kembali lagi kepada manusianya.”
Dirilisnya "Menunda Kekalahan" menjadi salah satu momen istimewa bagi Todung pada tahun ini. Novel ini berhasil dirampungkannya di tengah kesibukan menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia yang telah diembannya sejak tahun 2018.
Novel ini menceritakan dua pemuda yang ditangkap karena membawa heroin dalam perjalanan pulang meninggalkan Bali menuju Australia. Bersama tujuh pemuda lainnya mereka diadili di Denpasar. Kedua pemuda itu dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan kemudian dikukuhkan oleh Mahkamah Agung.
Topan Luhur, pengacara ternama yang biasanya menangani sengketa bisnis perusahaan, diminta pemerintah Australia untuk menangani perkara itu pada upaya hukum yang masih terbuka pada tahapan berikutnya yang tersisa. Dia diminta juga karena dia dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia yang pernah menolak hukuman mati.
Dia bimbang dan menghadapi dilema. Dia mengharamkan narkoba karena tahu bahaya narkoba sebagai musuh nomor wahid di Indonesia, tetapi dia juga sadar bahwa hak untuk hidup bersifat absolut, tak bisa dilanggar.
Hukuman berat harus dijatuhkan tetapi tanpa mencabut hak untuk hidup. Hampir sebulan dia baru bisa memutuskan. Selama sekitar delapan tahun Topan bergumul dalam kasus itu dengan segala dinamika proses hukum di lapangan yang tanpa kepastian.