Jakarta (ANTARA) - Siapa yang menyangka tahun 2020 harus dilewati dengan duka, pasalnya seluruh aspek harus terhenti akibat pandemi COVID-19 yang melanda di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Kegiatan olahraga seakan mati suri. Beragam kejuaraan atau turnamen yang seyogianya diselenggarakan pada 2020 harus diundur, dan tak sedikit berujung pada pembatalan.
Baca juga: Arteta: Situasi Arsenal saat ini kian runyam
Tak terhitung dengan jari untuk menghitung berapa banyak jadwal kompetisi olahraga yang direcoki oleh virus corona yang sudah menjadi pandemi global. Termasuk sepakbola yang menyiratkan bahwa kekosongannya menyadarkan kita betapa mendamba keriaan olahraga.
Pun demikian dengan Liga 1 Indonesia, setelah mengalami fase-fase pelik soal kapan kompetisi akan dimulai, perdebatan jadwal yang padat, serta kesibukan menyambut Piala Dunia U-19 yang mana kita adalah tuan rumahnya, mewarnai awal 2020.
Setelah melewati proses panjang nan rumit, PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator memutuskan kompetisi Liga 1 Indonesia dimulai pada 29 Februari 2020 atau dimajukan dari rencana awal yakni pertengahan Maret.
Tentu kepastian ini disambut sukacita oleh para penggemar sepakbola Indonesia. Karena yang mereka inginkan adalah bernyanyi bersama, menyemangati para pemain di medan perang sembari menyambut kepulangan dengan rasa bangga.
Tendangan bola dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali mengawali pembukaan kickoff perdana Liga 1 antara Persebaya Surabaya melawan Persik Kediri.
Seusai laga, Menpora menyatakan rasa optimistisnya bahwa kompetisi akan berjalan, lancar, kompetitif dan tentunya terhindar dari praktik suap yang kerap menyelimuti sepakbola tercinta kita.
Hanya tiga pertandingan
Gegap gempita berlangsungnya sepakbola Indonesia hanya bertahan tiga pekan saja, sebelum federasi memutuskan menunda akibat pandemi COVID-19 yang telah masif penyebarannya.
Pertandingan antara Persib Bandung melawan PSS Sleman pada Minggu, 15 Maret 2020, menjadi awal dari penundaan tersebut. Dalam laga itu Maung Bandung menang 2-1.
Penundaan itu mendapat satu suara baik dari pemain, pelatih, asosiasi, hingga pemerintah bahwa Liga 1 mesti ditangguhkan demi menjaga keselamatan serta mendukung upaya dalam memutus rantai penularan.
Saat itu Persib Bandung yang tampil konsisten menjadi pemuncak klasemen sementara dengan raihan sempurna sembilan poin, disusul Bali United tujuh poin, dan Borneo FC enam poin.
Namun yang menjadi perhatian bukan berasal dari klub-klub besar. Persiraja Banda Aceh yang kembali mengawali petualangannya di kompetisi tertinggi di Indonesia tampil mengejutkan.
Meski berada di posisi ketujuh dengan raihan lima poin, namun mereka mampu menjawab keraguan dari publik sendiri. Menahan Bhayangkara FC dan Madura United 0-0, serta menghempaskan Persik Kediri 1-0 di kandangnya sendiri.
Tentu menahan imbang Bhayangkara FC dan Madura United bukan sesuatu hal yang boleh dianggap biasa. Pasalnya, kedua tim itu masuk dalam daftar klub perebut gelar juara dengan sederet pemain kelas wahid.
Selepas tiga pertandingan itu, Liga 1 lantas hibernasi dan membuat olahraga jauh dari hakekatnya yakni kegembiraan. Semua dihadapkan pada situasi sulit dan hanya bisa pasrah sembari menunggu semuanya bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Polemik nasib kompetisi
Setelah PSSI mengadakan pertemuan dengan klub-klub Liga 1 dan Liga 2, Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia, serta Asosiasi Pelatih Sepakbola Seluruh Indonesia pada 2 Juni untuk menentukan nasib kompetisi.
Beberapa pihak sepakat agar kompetisi tetap dilanjutkan setidaknya pada tahun ini. Sementara pihak lain seperti Persebaya Surabaya, Barito Putera, Persik Kediri, Persita Tangerang, dan Persipura Jayapura sempat menolak kompetisi digelar.
Lima tim tersebut beralasan bahwa sangat riskan menggelar kompetisi di tengah pandemi yang belum terkendali. Meski tanpa penonton, tapi tak ada yang menjamin bahwa pendukung tak datang ke stadion.
PSSI dan PT LIB kemudian meyakinkan bahwa semuanya telah terencana dengan matang. PSSI beralasan kelanjutan liga demi timnas Indonesia yang akan berlaga di Piala Dunia U-20.
Sejumlah klub yang menolak kemudian luluh dan menyatakan ikut dalam kompetisi, tapi Persebaya "keukeuh" menolak. Meski begitu, PSSI tetap pada pendiriannya menggelar kompetisi dan mengeluarkan surat keputusan bahwa liga dijadwalkan akan kembali digelar pada 1 Oktober.
Seluruh jadwal pertandingan telah disusun dan diberikan kepada masing-masing kontestan liga. Kompetisi pun hanya dipusatkan di Pulau Jawa yakni di sekitar Yogyakarta. Hal ini diyakini bakal meminimalisir dari terpaparnya virus mematikan tersebut.
Selain itu, tim tidak boleh menggunakan jalur udara, semuanya harus memakai jalur darat. PSSI dan PT LIB berjanji akan mengakomodir setiap kebutuhan transportasi tersebut.
Akan tetapi tiga hari jelang bergulirnya liga, kompetisi kembali ditangguhkan. Alasannya sangat bodoh yakni tak mendapat perizinan dari pihak kepolisian. Padahal syarat-syarat mendasar ini seharusnya wajib dikantongi sejak jauh-jauh hari.
Karena tak mendapat izin penyelenggaraan dari pihak kepolisian. Federasi dan operator melobi agar akhir tahun bisa menggelar kompetisi. Akan tetapi, polisi lebih membela Pilkada ketimbang olahraga.
Kegalauan kembali menyelimuti seluruh pecinta sepakbola Indonesia. Hari yang dinanti-nanti harus kembali tertelan oleh harapan-harapan tak berujung. Hingga diputuskan tak ada kompetisi di sisa tahun ini.
PSSI dan PT LIB sedikitnya berupaya untuk menenangkan klub bahwa kompetisi akan kembali digelar pada Februari 2021. Namun nampaknya klub sudah tak terlalu berharap dan meliburkan seluruh aktivitas tim hingga benar-benar ada kejelasan dan tentunya izin dari kepolisian.
Mereka yang hengkang
Ketidakjelasan kompetisi membuat para pemain terutama asing memilih hengkang. Berbagai alasan yang menandai pemain itu pergi; takut terinfeksi COVID-19, adanya aturan lockdown di negara mereka, hingga tidak sepakat gaji direvisi hingga 75 persen.
Petteri Pennanen menjadi pemain asing pertama yang hengkang dari Tira Persikabo. Pemain asal Finlandia itu tak ingin kembali ke Indonesia dan bergabung dengan tim profesional pertamanya, KuPS.
Tak lama berselang, Rafael Oliveira juga pamit dari klubnya, Persela Lamongan. Penyerang asal Brazil itu tidak sepakat kontraknya direvisi oleh manajemen sesuai dengan keputusan PSSI dan PT LIB.
Begitupun dengan Arema FC yang harus kehilangan Jonathan Bauman dan In Kyun-oh. Nama terakhir kemudian memutuskan untuk gantung sepatu setelah satu dekade berkelana dari satu klub ke klub lainnya di Liga Indonesia.
Selain Bauman dan In Kyun-oh, Arema juga kehilangan Elias Alderete dan Matias Malvino. Berikutnya Persebaya Surabaya ditinggal David da Silva dan Makan Konate,
Persipura Jayapura Sylvano Comvalius dan Arthur Cunha, Bhayangkara FC kehilangan Harvey Guy, Bali United Paulo Sergio, Tira Persikabo ditinggal Petteri Pennanen, Artyom Filiposyan, PSM Makassar Hussein Eldor, Giancarlo Rodrigues, Serif Hasic.
Borneo FC ditinggal Fransisco Torres, Madura United Emmanuel Oti Essigba, Persela Lamongan Rafael Gomes de Oliveira, Persita Tangerang: Mateo Bustos dan Eldar Hasanovic, Barito Putera: Yashir Pinto, Persiraja Banda Aceh: Adam Mitter, Vanderlei Francisco, Bruno Dybal, dan Samir Ayass, Persik Kediri: Nicola Asceric, Ante Bakmaz, Gaspar Vega, dan Jefferson Alves Oliveira, Persiraja Banda Aceh: Adam Mitter, Vanderlei Francisco, Bruno Dybal, Samir Ayass.
PSSI yang tak tahu aturan
Setelah dipusingkan dengan nasib liga yang masih abu-abu, PSSI malah membuat blunder saat menetapkan siapa yang berhak mewakili Indonesia di ajang Piala AFC 2021.
Awalnya PSSI mengumumkan bahwa Bali United dan Persija Jakarta akan menjadi perwakilannya di turnamen kasta kedua di Asia tersebut. Penunjukkan Persija inilah yang kemudian menuai polemik.
PSSI beralasan bahwa PSM Makassar yang seharusnya mendampingi Bali United karena juara Piala Indonesia 2018 tak lolos verifikasi klub profesional AFC, sebagai syarat mengikuti turnamen tersebut.
Federasi dengan entengnya menunjuk Persija Jakarta yang kala itu sebagai runner up Piala Indonesia 2018. Padahal secara aturan AFC sebuah klub bisa berlaga di kompetisi AFC jika memenuhi salah satu syarat yakni juara liga, juara turnamen (cup), peringkat kedua liga, peringkat ketiga liga, dan peringkat keempat liga.
Tak ada aturan yang menjelaskan bahwa peringkat kedua turnamen bisa menggantikan posisi sang juara apabila tak bisa tampil dalam ajang tersebut. AFC justru menjelaskan bahwa penggantinya adalah peringat teratas di kompetisi serta telah mengantongi lisensi klub profesional AFC.
Dari kasus tersebut Bali United (juara Liga 1 musim 2019) memang telah mengamankan satu tiket, sementara satu perwakilan lainnya PSM Makassar (juara Piala Indonesia 2018) terganjal lisensi sehingga otomatis gugur.
Berdasarkan peringkat Liga 1 musim 2019, di bawah Bali berturut-turut ada Persebaya, Persipura, Bhayangkara, dan Persib Bandung. Persebaya juga tak lolos verifikasi AFC. Dengan begitu, yang berhak mendampingi Bali United adalah Persipura.
PSSI yang kalang kabut sempat menyatakan bahwa keputusannya telah disampaikan ke AFC. Kalaupun mau direvisi harus menunggu penentuan keputusan dari AFC itu sendiri.
Namun belakangan diketahui, AFC menegur PSSI untuk taat pada aturan terutama soal penetapan Persija Jakarta. Pada akhirnya PSSI mengakui kesalahan tersebut dan meminta maaf pada manajemen Persipura dan akhirnya menunjuk tim berjuluk Mutiara Hitam itu mendampingi Bali United.
Lantas apakah masalah telah berhenti di situ? Tentunya masih banyak dagelan-dagelan lain yang mungkin akan membuat kita hanya bisa geleng-geleng kepala.
Mulai dari persiapan kompetisi yang mepet jika jadi digelar Februari, aturan yang dilanggar sendiri, atau bahkan menjadi polisi moral bagi mereka yang menyambung hidup dari bermain liga antar kampung (tarkam). Semoga kita bukan masyarakat pelupa, siapa dalang di balik itu semua.