Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan melakukan pendalaman materi terkait wacana Amendemen UUD 1945 bersama Dewan Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
Dia mengatakan, beberapa tahun ini muncul wacana mengenai amendemen UUD yang merupakan amanah atau rekomendasi dari MPR periode 2014-2019.
Baca juga: Anggota DPR Sarifuddin Sudding apresiasi putusan terkait Benny Tjokro
"Sebagai amanah atau rekomendasi MPR sebelumnya, MPR periode ini yakni 2019-2024 diharap mampu menuntaskan keinginan tersebut. Semua pimpinan MPR menyepakati hasil rekomendasi pimpinan MPR sebelumnya," kata Syarief Hasan dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Hal itu dikatakan Syarief dalam focus group discussion (FGD) bersama dengan Dewan Guru Besar (DGB) UGM dan Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan tema "Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)".
Syarief mengatakan, apabila mengambil langkah Amendemen UUD 1945 maka perlu kehati-hatian dan MPR selama ini terus melakukan pendalaman materi dan berkomunikasi dengan seluruh komponen bangsa.
Dia mengatakan, wacana mengenai amendemen diakuinya mengembang, tidak sebatas pada masalah GBHN dan Pimpinan MPR dalam menyikapi amendemen, telah membagi tugas untuk menjaring aspirasi masyarakat berdasarkan klaster-klaster.
"Setiap kelompok yang merepresentasikan masyarakat kita ajak rembugan. Saya sebagai pimpinan MPR sering menjaring aspirasi mengenai wacana amendemen dengan intelektual, akademisi, dan civitas akademika dari berbagai perguruan tinggi," ujarnya.
Syarief mengatakan, sebelum COVID-19 melanda, dirinya telah mengunjungi berbagai perguruan tinggi, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan provinsi lainnya.
"Sebelum di UGM, saya menjaring aspirasi mengenai wacana amendemen UUD di Universitas Padjadjaran. Jadi kami fokus pada akademisi," katanya.
Syarief merasa senang menjaring dan mendengar aspirasi dari kalangan intelektual, akademisi, dan civitas akademika karena merupakan kelompok yang independen.
Selain itu menurut dia, terkait keberadaan UUD, di tengah masyarakat ada tiga kelompok yang menyikapi konstitusi tersebut, yaitu ada yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli, ada yang ingin mempertahankan yang sudah ada, ada pula yang ingin melakukan amandemen kembali.
"Semua itu ada plus minusnya, semua keinginan ada konsekuensinya. Bangsa ini telah melakukan beberapa kali amendemen UUD dan itu membawa perubahan yang mendasar, di antaranya adalah MPR tidak lagi menetapkan dan membuat GBHN," katanya.
Menurut dia, ketika ada keinginan memasukkan perlunya GBHN diatur dalam UUD, kelak akan menimbulkan pertanyaan selanjutnya, apakah nanti Presiden akan mempertanggungjawabkan kepada MPR.
Dia mengatakan akan timbul pertanyaan, apabila GBHN masuk dalam UUD, apakah nanti akan membuat MPR menjadi lembaga tertinggi lagi.
"Hal-hal itu yang membuat masalah menjadi komplek dan saling terkait. Terkait semua wacana yang ada, menurutnya perlu ada komitmen nasional yang diambil dari konsekuensi-konsekuensi yang ada, kita harus memilih yang terbaik," ujarnya.
Ketika tidak ada GBHN, menurut Syarief, pemerintah melakukan pembangunan berdasarkan UU. No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 dan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-undang itu menurut dia diimplementasikan Presiden SBY dan hasilnya membawa hasil yang baik dalam pembangunan.
Hadir dalam FGD tersebut antara lain Wakil Ketua MPR Syarief Hasan, Wakil Rektor UGM Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr; Ketua DGB UGM Prof. Drs. Koentjoro, M.BSc, Ph.D; serta puluhan guru besar lainnya, seperti Prof. Dr. Kaelan dan Prof. Dr. Sofian Effendi.