Ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pembuktian adanya kecurangan yang bersifat terstruktur sistematis dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan pemilihan umum 2019 sangat rumit dilakukan.
Edward mengatakan pembuktian kecurangan TSM tidak dapat dilakukan dengan pembuktian abal-abal.
"Jadi pembuktiannya antara motivasi (niat) dan akibat sama-sama terwujud, itulah yang kita sebut dalam hukum pidana sebagai dolus premiditatus untuk menggambarkan sistematis tersebut. Maka dari itu pembuktiannya bukan abal-abal, sangat rumit," ujar Edward Hiariej dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat.
Edward Hiariej dalam paparannya menjelaskan bahwa kecurangan dapat dikatakan terstruktur, sistematis dan masif apabila ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi.
Dia mengatakan kecurangan yang terjadi harus disertai dengan niat atau maksud, bukan karena kealpaan atau kelalaian.
Baca juga: Sidang MK - Beban pembuktian tidak dibebankan kepada termohon
Kemudian kecurangan itu dilakukan secara sistematis, yang dalam konteks pidana, merujuk Undang-undang Pemilu pasal 286, diartikan sebagai sebuah rencana yang matang dan rapi.
Kecurangan yang terstruktur dan sistematis ini, kata dia, pada akhirnya harus menimbulkan dampak masif.
"Dalam penjelasan UU pemilu di dalam pasal 86 ayat 3 dia kumulatif, dan bahasanya yang dimaksud pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian," ucap Edward Hiariej.
"Jadi kalau sangat luas itu berarti kalau kita pakai metode kuantitatif, berarti 50 persen + satu. Kalau ada 800 ribu TPS, berarti ada 401 ribu TPS (yang terbukti adanya kecurangan TSM). Kira-kira begitu," tambah dia.
Lebih lanjut Edward mengatakan dalam membuktikan kecurangan TSM, antara unsur terstruktur, sistematis dan masif harus memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat). Hubungan kausalitas tersebut dapat dijawab dengan menggunakan teori individualisasi.
"Jadi harus diteliti betul apakah yang dituduhkan dalam konteks kecurangan itu betul mempengaruhi suara orang di TPS. Kalau mau pembuktian yang sebenarnya itu kan harus satu satu ditanya, apakah betul saudara memilih karena dipengaruhi, karena ini, karena itu, dan lain sebagainya," ucap Edward.
Baca juga: Sidang MK, MK tak kehilangan progresivitasnya dalam PHPU Pilpres
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
Edward mengatakan pembuktian kecurangan TSM tidak dapat dilakukan dengan pembuktian abal-abal.
"Jadi pembuktiannya antara motivasi (niat) dan akibat sama-sama terwujud, itulah yang kita sebut dalam hukum pidana sebagai dolus premiditatus untuk menggambarkan sistematis tersebut. Maka dari itu pembuktiannya bukan abal-abal, sangat rumit," ujar Edward Hiariej dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat.
Edward Hiariej dalam paparannya menjelaskan bahwa kecurangan dapat dikatakan terstruktur, sistematis dan masif apabila ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi.
Dia mengatakan kecurangan yang terjadi harus disertai dengan niat atau maksud, bukan karena kealpaan atau kelalaian.
Baca juga: Sidang MK - Beban pembuktian tidak dibebankan kepada termohon
Kemudian kecurangan itu dilakukan secara sistematis, yang dalam konteks pidana, merujuk Undang-undang Pemilu pasal 286, diartikan sebagai sebuah rencana yang matang dan rapi.
Kecurangan yang terstruktur dan sistematis ini, kata dia, pada akhirnya harus menimbulkan dampak masif.
"Dalam penjelasan UU pemilu di dalam pasal 86 ayat 3 dia kumulatif, dan bahasanya yang dimaksud pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian," ucap Edward Hiariej.
"Jadi kalau sangat luas itu berarti kalau kita pakai metode kuantitatif, berarti 50 persen + satu. Kalau ada 800 ribu TPS, berarti ada 401 ribu TPS (yang terbukti adanya kecurangan TSM). Kira-kira begitu," tambah dia.
Lebih lanjut Edward mengatakan dalam membuktikan kecurangan TSM, antara unsur terstruktur, sistematis dan masif harus memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat). Hubungan kausalitas tersebut dapat dijawab dengan menggunakan teori individualisasi.
"Jadi harus diteliti betul apakah yang dituduhkan dalam konteks kecurangan itu betul mempengaruhi suara orang di TPS. Kalau mau pembuktian yang sebenarnya itu kan harus satu satu ditanya, apakah betul saudara memilih karena dipengaruhi, karena ini, karena itu, dan lain sebagainya," ucap Edward.
Baca juga: Sidang MK, MK tak kehilangan progresivitasnya dalam PHPU Pilpres
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019