Sejarawan Bonnie Triyana menyebutkan bahwa Istana Negara berbau kolonialisme lebih kepada watak seseorang bukan pada bangunan fisik.
 
"Kami menilai pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Istana Negara berbau kolonialisme itu lebih kepada watak seseorang," kata Bonnie saat menjadi pembicara dalam acara bedah buku "Merahnya Ajaran Bung Karno" dalam rangka Refleksi Kemerdekaan ke-79 RI yang digelar Persatuan Alumni GMNI Lebak di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat.
 
Apabila, ada orang yang menyebut Istana Negara berbau kolonialisme itu bukan pada bangunan fisik, tapi pada watak, pada pikiran, pada perilaku.
 
"Itu watak kolonial yang bahaya yang bisa dilakoni oleh siapapun," kata Bonnie.
 
Bonnie mencontohkan salah satu watak kolonial ialah memakai hukum guna menindas rakyatnya sendiri.

Baca juga: Hasto ajak masyarakat resapi 'Merahnya Ajaran Bung Karno'
 
Watak semacam ini biasa dimiliki orang yang tengah duduk manis di kursi pemimpin.
 
"Apalagi dia sedang berada di tampuk kekuasaan. Watak kolonial ini apa cirinya? Di zaman kolonial, pemerintah kolonial itu menggunakan hukum untuk menindas," ujar Bonnie.
 
Bonnie mengungkapkan penerapan Exorbitante Rechten di masa pemerintah kolonial Belanda. Hukum semacam ini dinilai Bonnie menjadi alat penguasa untuk meredam lawannya.
 
"Apa itu Exorbitante Rechten? Seorang Gubernur Jenderal bisa menghukum siapapun yang tidak disukai oleh dia, dengan membuang dia ke luar wilayah kekuasaan Hindia Belanda atau membuang dia ke tempat yang terpencil," kata Bonnie.
 
Dia menerangkan Exorbitante Rechten adalah hak Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menistakan siapapun yang tidak disukai. Inilah cara pandang kolonial.
 
"Nah, artinya rekayasa hukum itu pun praktek kolonial. Rekayasa hukum itu pun, apa yang dilakukan oleh gubernur jenderal pada masa kolonial," ujar Bonnie.

Baca juga: Rocky Gerung sebut senyum Megawati lebih indah dari ekspresi Mona Lisa

Pewarta: Mansyur suryana

Editor : Bayu Kuncahyo


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2024