Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi menggelar Dengar Pendapat Publik untuk perubahan Rancangan Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian sebagai implementasi pasal 90 dan 96 Undang-undang nomor 12 tahun 2011 yang mengamanatkan adanya partisipasi publik dalam setiap pembuatan undang-undang.
Sejumlah perwakilan kementerian atau lembaga, akademisi serta masyarakat umum turut hadir berpartisipasi dalam Dengar Pendapat yang diselenggarakan di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Selatan, Senin (15/7).
Masyarakat yang hadir di antaranya berasal dari komunitas Himpunan Keluarga Antar Negara, Indonesia Diaspora Network, Aliansi Pelangi Antar Bangsa dan Perkumpulan Perkawinan Campuran Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Imigrasi, Silmy Karim menyebutkan bahwa regulasi keimigrasian yang ada saat ini sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dinamika keimigrasian yang terjadi.
“Penting bagi kita untuk punya regulasi keimigrasian yang baru, yang tidak hanya dapat menjawab tantangan masa kini tetapi juga dapat mempersiapkan kita untuk menghadapi masa depan,” ujar Silmy.
Baca juga: Periode Januari-Juni 2024, kedatangan orang asing meningkat 7.2%
Pernyataan tersebut diaminkan oleh Fahri Bachmid, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia yang menjadi salah satu narasumber. Fahri menyatakan bahwa sebuah undang-undang dibentuk untuk memiliki daya lenting agar mampu mengakomodasi visi negara setidaknya selama 20 tahun ke depan.
Fahri juga menjelaskan bahwa pada saat Undang-undang 6/2011 dibentuk masih belum mengantisipasi kompleksitas pelaksanaan tugas-fungsi imigrasi di masa kini.
Selain Fahri Bachmid, hadir pula Pengamat Kebijakan - Agus Pambagio; Akademisi dari Universitas Indonesia - Surjadi; Akademisi dari Universitas Gadjah Mada - Ardianto Budi; serta Akademisi dari Universitas Brawijaya - Dias Satria.
Dengar Pendapat Publik tersebut membahas muatan perubahan RUU Keimigrasian yang terdiri dari enam pasal perubahan dalam hal pencegahan dan penangkalan, masa berlaku Izin Masuk Kembali dari Izin Tinggal Tetap serta sumber dana untuk pelaksanaan tugas dan fungsi keimigrasian.
Baca juga: Semester satu 2024, 2.041 WNA dapat sanksi dari Imigrasi
Sejalan dengan itu Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menyinggung kompleksnya tugas dan fungsi keimigrasian saat ini yang membutuhkan akselerasi baik dalam pengadaan sarana-prasarana penunjang dan maupun pelaksanaannya.
Komentar tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat yang hadir, salah satunya dari perwakilan Keluarga Antar Negara, Analia, yang juga menyampaikan aspirasinya mengenai kompleksnya administrasi dalam pengurusan pewarganegaraan.
“Ini yang saya alami ya waktu suami saya mau naturalisasi. Pelayanan pewarganegaraan itu terpisah-pisah, prosesnya tidak di imigrasi saja. Kami inginnya satu tahapan saja. Seperti layanan terpadu satu pintu. Jadi tidak perlu bolak-balik mengurus administrasi.” tutur Analia.
Baca juga: Imigrasi deportasi dan cekal 13 WNA asal Taiwan pelaku kejahatan berat
Narasumber asal Universitas Gadjah Mada, Ardianto menyinggung kasus tewasnya petugas imigrasi di Kantor Imigrasi Jakarta Utara di tangan deteni asal Uzbekistan yang sempat ramai di media beberapa waktu lalu.
“Setelah saya telusuri beritanya ternyata fasilitas di kantornya tidak memadai. Kembali kepada revisi undang-undang ini ya, menurut saya diperlukan salah satunya untuk pembuatan fasilitas keamanan untuk menunjang fungsi imigrasi,” papar Ardi yang disambut dengan masukan dari Agus Pambagio agar petugas imigrasi diberikan pelatihan khusus dan diizinkan membawa
senjata api.
Hal ini dilakukan karena risiko pekerjaan yang tinggi, terutama saat menjalankan fungsi pengawasan serta penindakan terhadap pelanggar keimigrasian.
“Kita lihat contoh instansi lain. Ketika tugasnya ada potensi bahaya, petugasnya dibekali pelatihan khusus, dipersenjatai. Seharusnya imigrasi juga bisa mendapatkan perizinan dan pelatihan yang sama. Dengan begitu kita bisa mencegah tragedi serupa terulang kembali,” papar Agus.
Baca juga: Imigrasi Soekarno Hatta dan Jepang jalani kerjasama penguatan layanan
Aspirasi pun hadir dari pelaksana fungsi keimigrasian di perbatasan, Kantor Imigrasi Atambua menyampaikan pendapat terkait urgensi kebutuhan alat keamanan yang diperlukan guna memberikan keamanan di lapangan yang berisiko tinggi dan mengancam keselamatan petugas
baik fisik dan psikis dari petugas.
Dengan penggunaan alat keamanan ini nantinya akan memberikan manfaat keamanan dan keselamatan bagi petugas, dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan, disamping itu pula, perlu ditambah norma yang dapat mengakomodir kewenangan Penolakan Masuk Orang Asing atas nama Keamanan, ketertiban umum dan Kedaulatan Negara.
Menanggapi pendapat dari para pemangku kepentingan yang hadir dalam acara Dengar
Pendapat tersebut, Dirjen Imigrasi menyampaikan.
“Bismillah, setelah kita dengarkan saran dan masukan masyarakat mudah-mudahan lancar untuk tahap selanjutnya [revisi Undang-undang] agar kita bisa ‘berlari’ menjalankan tugas kita dengan payung hukum yang baru,” tutup Silmy.
Baca juga: Ditjen Imigrasi dan Jamintel perkuat kerjasama penegakan hukum
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2024
Sejumlah perwakilan kementerian atau lembaga, akademisi serta masyarakat umum turut hadir berpartisipasi dalam Dengar Pendapat yang diselenggarakan di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Selatan, Senin (15/7).
Masyarakat yang hadir di antaranya berasal dari komunitas Himpunan Keluarga Antar Negara, Indonesia Diaspora Network, Aliansi Pelangi Antar Bangsa dan Perkumpulan Perkawinan Campuran Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Imigrasi, Silmy Karim menyebutkan bahwa regulasi keimigrasian yang ada saat ini sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dinamika keimigrasian yang terjadi.
“Penting bagi kita untuk punya regulasi keimigrasian yang baru, yang tidak hanya dapat menjawab tantangan masa kini tetapi juga dapat mempersiapkan kita untuk menghadapi masa depan,” ujar Silmy.
Baca juga: Periode Januari-Juni 2024, kedatangan orang asing meningkat 7.2%
Pernyataan tersebut diaminkan oleh Fahri Bachmid, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia yang menjadi salah satu narasumber. Fahri menyatakan bahwa sebuah undang-undang dibentuk untuk memiliki daya lenting agar mampu mengakomodasi visi negara setidaknya selama 20 tahun ke depan.
Fahri juga menjelaskan bahwa pada saat Undang-undang 6/2011 dibentuk masih belum mengantisipasi kompleksitas pelaksanaan tugas-fungsi imigrasi di masa kini.
Selain Fahri Bachmid, hadir pula Pengamat Kebijakan - Agus Pambagio; Akademisi dari Universitas Indonesia - Surjadi; Akademisi dari Universitas Gadjah Mada - Ardianto Budi; serta Akademisi dari Universitas Brawijaya - Dias Satria.
Dengar Pendapat Publik tersebut membahas muatan perubahan RUU Keimigrasian yang terdiri dari enam pasal perubahan dalam hal pencegahan dan penangkalan, masa berlaku Izin Masuk Kembali dari Izin Tinggal Tetap serta sumber dana untuk pelaksanaan tugas dan fungsi keimigrasian.
Baca juga: Semester satu 2024, 2.041 WNA dapat sanksi dari Imigrasi
Sejalan dengan itu Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menyinggung kompleksnya tugas dan fungsi keimigrasian saat ini yang membutuhkan akselerasi baik dalam pengadaan sarana-prasarana penunjang dan maupun pelaksanaannya.
Komentar tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat yang hadir, salah satunya dari perwakilan Keluarga Antar Negara, Analia, yang juga menyampaikan aspirasinya mengenai kompleksnya administrasi dalam pengurusan pewarganegaraan.
“Ini yang saya alami ya waktu suami saya mau naturalisasi. Pelayanan pewarganegaraan itu terpisah-pisah, prosesnya tidak di imigrasi saja. Kami inginnya satu tahapan saja. Seperti layanan terpadu satu pintu. Jadi tidak perlu bolak-balik mengurus administrasi.” tutur Analia.
Baca juga: Imigrasi deportasi dan cekal 13 WNA asal Taiwan pelaku kejahatan berat
Narasumber asal Universitas Gadjah Mada, Ardianto menyinggung kasus tewasnya petugas imigrasi di Kantor Imigrasi Jakarta Utara di tangan deteni asal Uzbekistan yang sempat ramai di media beberapa waktu lalu.
“Setelah saya telusuri beritanya ternyata fasilitas di kantornya tidak memadai. Kembali kepada revisi undang-undang ini ya, menurut saya diperlukan salah satunya untuk pembuatan fasilitas keamanan untuk menunjang fungsi imigrasi,” papar Ardi yang disambut dengan masukan dari Agus Pambagio agar petugas imigrasi diberikan pelatihan khusus dan diizinkan membawa
senjata api.
Hal ini dilakukan karena risiko pekerjaan yang tinggi, terutama saat menjalankan fungsi pengawasan serta penindakan terhadap pelanggar keimigrasian.
“Kita lihat contoh instansi lain. Ketika tugasnya ada potensi bahaya, petugasnya dibekali pelatihan khusus, dipersenjatai. Seharusnya imigrasi juga bisa mendapatkan perizinan dan pelatihan yang sama. Dengan begitu kita bisa mencegah tragedi serupa terulang kembali,” papar Agus.
Baca juga: Imigrasi Soekarno Hatta dan Jepang jalani kerjasama penguatan layanan
Aspirasi pun hadir dari pelaksana fungsi keimigrasian di perbatasan, Kantor Imigrasi Atambua menyampaikan pendapat terkait urgensi kebutuhan alat keamanan yang diperlukan guna memberikan keamanan di lapangan yang berisiko tinggi dan mengancam keselamatan petugas
baik fisik dan psikis dari petugas.
Dengan penggunaan alat keamanan ini nantinya akan memberikan manfaat keamanan dan keselamatan bagi petugas, dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan, disamping itu pula, perlu ditambah norma yang dapat mengakomodir kewenangan Penolakan Masuk Orang Asing atas nama Keamanan, ketertiban umum dan Kedaulatan Negara.
Menanggapi pendapat dari para pemangku kepentingan yang hadir dalam acara Dengar
Pendapat tersebut, Dirjen Imigrasi menyampaikan.
“Bismillah, setelah kita dengarkan saran dan masukan masyarakat mudah-mudahan lancar untuk tahap selanjutnya [revisi Undang-undang] agar kita bisa ‘berlari’ menjalankan tugas kita dengan payung hukum yang baru,” tutup Silmy.
Baca juga: Ditjen Imigrasi dan Jamintel perkuat kerjasama penegakan hukum
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2024