Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendapat kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana jasa keuangan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Ahli Hukum Pidana, Prof Prof Dwidja Priyatno mengatakan, sesuai ketentuan KUHAP dalam hukum acara pidana, Kepolisian Indonesia (Polri) adalah penyidik tunggal.
"Polri merupakan penyidik tunggal, yang diperintahkan oleh Undang-Undang," kata Prof Dwidja dalam keterangan resminya Jumat
Ia berpandangan, jika OJK dikatakan penyidik tunggal tindak pidana jasa keuangan seperti yang tertuang di dalam UU PPSK, maka telah bertentangan secara hukum.
Berdasarkan Pasal 6 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
"Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 KUHAP penyidik dalam Pasal 6 ayat 1, dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengwasan penyidik Polri," jelas Dwidja.
Maka itu, tindak pidana jasa keuangan menjadi ranah kewenangan Polri untuk menyelidiki. Sebab, Polri merupakan penyidik tunggal dalam tindak pidana, baik kasus kriminal dan tindak pidana jasa keuangan.
Menurutnya, jika dikaji secara bersama, UU PPSK adalah UU dibidang hukum Administrasi. "Apalah mungkin mengatur bidang hukum acara pidana atau menyimpangi KUHAP?, Menurut saya tidak bisa," ucapnya.
Sebab, di hukum acara pidana masih mengacu ke KUHAP dan ketentuan di dalamnya harus dipatuhi. Hal yang perlu dipatuhi adalah Polri sebagai penyidik tunggal menyelidiki perkara jasa keuangan dan itu demi menjaga kepastian hukum berkeadilan.
"Kecuali untuk hukum acaranya mengatur secara tersendiri, maka berlaku adagium lex specialis derogaat legi generalis," imbuhnya.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara, Muhammad Rullyandi menilai pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK bertentangan dengan UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Penguatan Sektor Keuangan dengan hanya dapat dilakukan penyidikan oleh Penyidik OJK, terhadap Ketentuan Pasal 49 RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan telah bertentangan dengan Konstitusi Pasal 30 Ayat 4, UU Polri Pasal 14 dan Ketentuan Pasal 6 Hukum Acara Pidana KUHAP yang tidak mengenal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu," jelas Rully kemarin kepada wartawan.
Menurutnya, peran independensi kelembagaan OJK tidak dapat ditafsirkan berdiri sendiri. Penyidik OJK seharusnya tetap tunduk terhadap ketentuan Pasal 6 KUHAP.
Artinya dalam bingkai checks and balances koordinasi dan supervisi yang menjadi rujukan hukum acara (KUHAP Pasal 6) dalam bidang penanganan tindak pidana khusus.
"Institusi Polri memiliki derajat legitimasi konstitusional dalam hal kewenangan penyidik dan penyidikan semua tindak pidana," tutur Rully.
Hal demikian sejatinya telah dirumuskan secara konsisten oleh pembentuk undang-undang sejak melahirkan regulasi OJK. "UU OJK 2011 terkait dengan penempatan keberadaan penyidik OJK yang melibatkan Penyidik Polri," imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023
Ahli Hukum Pidana, Prof Prof Dwidja Priyatno mengatakan, sesuai ketentuan KUHAP dalam hukum acara pidana, Kepolisian Indonesia (Polri) adalah penyidik tunggal.
"Polri merupakan penyidik tunggal, yang diperintahkan oleh Undang-Undang," kata Prof Dwidja dalam keterangan resminya Jumat
Ia berpandangan, jika OJK dikatakan penyidik tunggal tindak pidana jasa keuangan seperti yang tertuang di dalam UU PPSK, maka telah bertentangan secara hukum.
Berdasarkan Pasal 6 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
"Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 KUHAP penyidik dalam Pasal 6 ayat 1, dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengwasan penyidik Polri," jelas Dwidja.
Maka itu, tindak pidana jasa keuangan menjadi ranah kewenangan Polri untuk menyelidiki. Sebab, Polri merupakan penyidik tunggal dalam tindak pidana, baik kasus kriminal dan tindak pidana jasa keuangan.
Menurutnya, jika dikaji secara bersama, UU PPSK adalah UU dibidang hukum Administrasi. "Apalah mungkin mengatur bidang hukum acara pidana atau menyimpangi KUHAP?, Menurut saya tidak bisa," ucapnya.
Sebab, di hukum acara pidana masih mengacu ke KUHAP dan ketentuan di dalamnya harus dipatuhi. Hal yang perlu dipatuhi adalah Polri sebagai penyidik tunggal menyelidiki perkara jasa keuangan dan itu demi menjaga kepastian hukum berkeadilan.
"Kecuali untuk hukum acaranya mengatur secara tersendiri, maka berlaku adagium lex specialis derogaat legi generalis," imbuhnya.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara, Muhammad Rullyandi menilai pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK bertentangan dengan UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Penguatan Sektor Keuangan dengan hanya dapat dilakukan penyidikan oleh Penyidik OJK, terhadap Ketentuan Pasal 49 RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan telah bertentangan dengan Konstitusi Pasal 30 Ayat 4, UU Polri Pasal 14 dan Ketentuan Pasal 6 Hukum Acara Pidana KUHAP yang tidak mengenal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu," jelas Rully kemarin kepada wartawan.
Menurutnya, peran independensi kelembagaan OJK tidak dapat ditafsirkan berdiri sendiri. Penyidik OJK seharusnya tetap tunduk terhadap ketentuan Pasal 6 KUHAP.
Artinya dalam bingkai checks and balances koordinasi dan supervisi yang menjadi rujukan hukum acara (KUHAP Pasal 6) dalam bidang penanganan tindak pidana khusus.
"Institusi Polri memiliki derajat legitimasi konstitusional dalam hal kewenangan penyidik dan penyidikan semua tindak pidana," tutur Rully.
Hal demikian sejatinya telah dirumuskan secara konsisten oleh pembentuk undang-undang sejak melahirkan regulasi OJK. "UU OJK 2011 terkait dengan penempatan keberadaan penyidik OJK yang melibatkan Penyidik Polri," imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023