Cagar budaya Multatuli atau rumah Eduard Douwes Dekker, Asisten Residen masa Kolonial Belanda yang bertugas di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten kini kondisinya telantar disoroti Akademisi Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI) Latansa Mashiro Rangkasbitung Mochamad Husen.

"Kami sangat prihatin melihat kondisi bangunan Multatuli yang menjadi bagian sejarah dunia itu. Sejak dulu hingga sekarang kondisi gedung Multatuli itu telantar dan terbengkalai, " katanya di Lebak, Ahad.

Baca juga: Curah hujan meningkat, BPBD Lebak siaga 24 jam dan pelengkapan evakuasi disiapkan

Bangunan Multatuli itu yang lokasinya berada di lingkungan RSUD Adjidarmo Rangkasbitung , kata dia, tidak diketahui secara jelas siapa yang bertanggung jawab untuk merawat dan memiliharanya.

"Apakah bangunan bersejarah itu merupakan kewenangan pemerintah daerah atau Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Banten," katanya.

Ia menyatakan, kondisi bangunan banyak yang sudah hilang bagian jendela, pintu, kaca dan genteng. Kondisi tembok dinding berlubang, cat mengelupas, lantai tanah, hingga bangunannya tidak sempurna, dan bangunan rumah Eduard Douwes Dekker sudah tidak sempurna dan tidak ada ruangan.

"Kami berharap gedung Multatuli itu kembali dibangun dan dirawat serta dipelihara, karena merupakan kekayaan budaya bangsa," katanya .

Menurut dia, perjuangan Eduard Douwes Dekker patut diapresiasi karena mereka memberikan semangat dan motivasi kepada rakyat Indonesia untuk berjuang melawan terhadap penjajahan kolonial Belanda, di mana hati nurani Multatuli bertolak belakang dengan pemerintah kolonial Belanda yang memeras dan mencekik rakyat di Lebak.

Oleh karena itu, Asisten Residen Belanda yang bertugas di Lebak mengangkat karya Novel "Max Havelaar", yang karyanya mendunia karena keburukan dan kezhaliman pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenangnya terhadap warga pribumi.

"Kami berharap bangunan penulis Max Havelaar itu dilestarikan dan bisa menjadi destinasi wisata sejarah, " kata mantan anggota DPRD Lebak itu.

Ia mengatakan, rumah Multatuli itu ditempati tahun 1856 dan sempat menjadi markas tentara pada 1850.

Bahkan, bangunan itu beberapa kali mengalami alih fungsi menjadi rumah sakit pada 1987, apotek tahun 2000, hingga gudang pembangunan Rumah Sakit Dr Adjidarmo pada 2007.

Namun, saat ini, kata  Mochamad Husen, lokasi bersejarah itu hanya menjadi kawasan parkir pegawai rumah sakit setempat.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Lebak Imam Rismahayadin mengatakan untuk pembangunan gedung Multatuli yang menjadi cagar budaya di Rangkasbitung, Lebak belum memiliki anggaran akibat pandemi COVID-19 itu.

"Seharusnya renovasi bangunan Multatuli direalisasikan 2020. Namun, virus corona yang mewabah sehingga difokuskan untuk penanganan COVID-19, " katanya.




 

Pewarta: Mansyur Suryana

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021