Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menyatakan terdapat perbedaan upaya pemerintah untuk memenuhi hak dasar antara masyarakat adat di desa adat dengan masyarakat adat di desa administrasi.
"Pembedaan perlakuan ini terjadi karena desa adat dibedakan dari desa administrasi biasa, dan keberadaan dua jenis desa ini diatur dalam Undang-Undang Desa," kata Gus Menteri, sapaan akrab Abdul Halim Iskandar, ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Baca juga: Mendes PDTT tegaskan pemdes wajib siapkan ruang isolasi cegah COVID-19
Ia menambahkan, bagi masyarakat adat yang berada di desa administrasi, pemenuhan hak-hak dasar mereka akan terintegrasi dengan pelayanan kegiatan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Di sisi lain, masyarakat adat yang berlokasi di desa adat akan memperoleh pemenuhan hak yang lebih mendalam.
"Melalui nomenklatur desa adat, masyarakat adat diakui keberadaan-nya lengkap dengan pengakuan atas batas wilayah ulayat-nya," ucap Gus Menteri.
Adapun yang dimaksudkan dengan wilayah ulayat adalah satuan wilayah di bawah pengaturan hukum adat. Hak-hak adat akan hidup dan melekat pada wilayah di bawah ‘hak ulayat’, dan hak tersebut dimiliki atau dikuasai secara bersama-sama oleh seluruh warga persekutuan yang hidup di wilayah setempat.
Selain memiliki pengakuan atas batas wilayah ulayat, ucap Gus Menteri, masyarakat adat di desa adat juga diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
"Kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan hak tradisional juga diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia," tutur-nya melanjutkan.
Pengakuan-pengakuan tersebut mengakibatkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melakukan upaya yang berbeda dalam memenuhi hak-hak dasar milik masyarakat adat di desa adat.
Upaya pertama adalah memberi kepastian hak kepemilikan atas tanah ulayat melalui sertifikat yang mengatasnamakan pemerintah desa dan tanah menjadi milik desa adat. Kepala Desa akan menandatangani secara ex-officio, alias penandatanganan tersebut berdasarkan kewenangan yang diberi oleh masyarakat adat.
Selanjutnya, terkait hak masyarakat atas budayanya, diwujudkan oleh pemerintah dengan diberlakukan-nya pemerintahan adat dan hukum adat dalam penyelenggaraan desa adat.
"Demikian pula dilindungi benda-benda adat yang dimilikinya melalui desa adat," tutur Gus Menteri.
Selain upaya-upaya tersebut, pemerintah juga memenuhi hak dasar masyarakat adat di desa adat berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat.
Dalam peraturan tersebut diatur bahwa pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa difokuskan pada upaya mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Desa. Upaya ini juga berlaku untuk masyarakat adat di desa administrasi.
Terdapat 18 tujuan dalam SDGs Desa, yakni Desa Tanpa Kemiskinan, Desa Tanpa Kelaparan, Desa Sehat dan Sejahtera, Pendidikan Desa Berkualitas, Keterlibatan Perempuan Desa, Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi, Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, dan Infrastruktur dan Inovasi Desa Sesuai Kebutuhan.
Selanjutnya, terdapat Desa Tanpa Kesenjangan, Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman, Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, Desa Tanggap Perubahan Iklim, Desa Peduli Lingkungan Laut, Desa Peduli Lingkungan Darat, Desa Damai Berkeadilan, Kemitraan untuk Pembangunan Desa, dan yang terakhir adalah Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.
Tujuan-tujuan dari SDGs diyakini dapat memenuhi hak-hak dasar masyarakat adat yang berada di desa adat maupun desa administrasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
"Pembedaan perlakuan ini terjadi karena desa adat dibedakan dari desa administrasi biasa, dan keberadaan dua jenis desa ini diatur dalam Undang-Undang Desa," kata Gus Menteri, sapaan akrab Abdul Halim Iskandar, ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Baca juga: Mendes PDTT tegaskan pemdes wajib siapkan ruang isolasi cegah COVID-19
Ia menambahkan, bagi masyarakat adat yang berada di desa administrasi, pemenuhan hak-hak dasar mereka akan terintegrasi dengan pelayanan kegiatan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Di sisi lain, masyarakat adat yang berlokasi di desa adat akan memperoleh pemenuhan hak yang lebih mendalam.
"Melalui nomenklatur desa adat, masyarakat adat diakui keberadaan-nya lengkap dengan pengakuan atas batas wilayah ulayat-nya," ucap Gus Menteri.
Adapun yang dimaksudkan dengan wilayah ulayat adalah satuan wilayah di bawah pengaturan hukum adat. Hak-hak adat akan hidup dan melekat pada wilayah di bawah ‘hak ulayat’, dan hak tersebut dimiliki atau dikuasai secara bersama-sama oleh seluruh warga persekutuan yang hidup di wilayah setempat.
Selain memiliki pengakuan atas batas wilayah ulayat, ucap Gus Menteri, masyarakat adat di desa adat juga diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
"Kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan hak tradisional juga diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia," tutur-nya melanjutkan.
Pengakuan-pengakuan tersebut mengakibatkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melakukan upaya yang berbeda dalam memenuhi hak-hak dasar milik masyarakat adat di desa adat.
Upaya pertama adalah memberi kepastian hak kepemilikan atas tanah ulayat melalui sertifikat yang mengatasnamakan pemerintah desa dan tanah menjadi milik desa adat. Kepala Desa akan menandatangani secara ex-officio, alias penandatanganan tersebut berdasarkan kewenangan yang diberi oleh masyarakat adat.
Selanjutnya, terkait hak masyarakat atas budayanya, diwujudkan oleh pemerintah dengan diberlakukan-nya pemerintahan adat dan hukum adat dalam penyelenggaraan desa adat.
"Demikian pula dilindungi benda-benda adat yang dimilikinya melalui desa adat," tutur Gus Menteri.
Selain upaya-upaya tersebut, pemerintah juga memenuhi hak dasar masyarakat adat di desa adat berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat.
Dalam peraturan tersebut diatur bahwa pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa difokuskan pada upaya mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Desa. Upaya ini juga berlaku untuk masyarakat adat di desa administrasi.
Terdapat 18 tujuan dalam SDGs Desa, yakni Desa Tanpa Kemiskinan, Desa Tanpa Kelaparan, Desa Sehat dan Sejahtera, Pendidikan Desa Berkualitas, Keterlibatan Perempuan Desa, Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi, Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, dan Infrastruktur dan Inovasi Desa Sesuai Kebutuhan.
Selanjutnya, terdapat Desa Tanpa Kesenjangan, Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman, Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, Desa Tanggap Perubahan Iklim, Desa Peduli Lingkungan Laut, Desa Peduli Lingkungan Darat, Desa Damai Berkeadilan, Kemitraan untuk Pembangunan Desa, dan yang terakhir adalah Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.
Tujuan-tujuan dari SDGs diyakini dapat memenuhi hak-hak dasar masyarakat adat yang berada di desa adat maupun desa administrasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021