Jakarta (ANTARA) - Sebuah program raksasa sedang disiapkan oleh pemerintah, yakni memindahkan ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.
Disadari atau tidak, setumpuk “pekerjaan rumah” harus disiapkan oleh pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin.
Presiden pada bulan Agustus 2019 telah memberi tahu rakyat di seluruh Tanah Air dan juga internasional bahwa ibu kota baru tersebut akan dipindahkan ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara yang merupakan kabupaten di Kaltim. Ratusan ribu hektare lahan disiapkan untuk membangun pusat pemerintahan yang baru itu.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan) Tjahjo Kumolo mengungkapkan kepada para anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (20/1), bahwa sekitar 118.000 pegawai negeri sipil (PNS) alias aparatur negara sipil (ASN) bakal dialihkan dari Jakarta ke Kaltim. Komisi III DPR antara lain membidangi masalah aparatur pemerintah.
Menpan Tjahjo juga mengungkapkan bahwa ratusan ribu ASN yang akan dipindahkan itu pada tahun 2023—saat pengalihan mulai dilaksanakan—maksimal berumur 45 tahun. Jumlah PNS saat ini kurang lebih 4,2 juta orang.
Rakyat bisa membayangkan bahwa pemindahan sekitar 118.000 PNS itu bukanlah hal yang mudah sekali bagaikan membalik telapak tangan. Pemerintah pusat harus membangun kantor-kantor bagi sekitar 34 kementerian ditambah begitu banyak lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) mulai dari Bakosurtanal, LIPI, BKN, BKKBN, hingga BMKG.
Selain itu, lembaga-lembaga negara juga harus beralih mulai dari MPR, DPD, DPR, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, hingga Mahkamah Agung. Sementara itu, semua kedutaan besar, badan internasional, seperti Kantor PBB serta berbagai kantor organisasi-organisasi dunia pun harus bersiap bedol desa.
Jadi, bisa dibayangkan betapa tugas yang amat berat harus dilaksanakan Tjahjo Kumolo dan seluruh jajaran Kemenpan dan juga Badan Kepegawaian Negara alias BKN. Tidak ada satu alasan pun yang bisa dilontarkan untuk menghambat program pemindahan ibu kota pemerintahan ini.
Karena Menpan sudah menjelaskan syarat-syarat pindahnya PNS atau ASN seperti usianya tidak lebih dari 45 tahun, aparat-aparat tersebut sejak sekarang sudah bisa merenungkan atau berpikir-pikir secara serius untuk pindah ke kantor barunya di Kutai Kartanegara ataupun Penajam Paser Utara.
Para PNS harus sudah mulai berunding dengan istri atau suaminya serta anak-anaknya apakah akan ikut pindah atau tetap bertahan di Jakarta.
Kalau ikut “hijrah”, tentu mereka harus siap menyesuaikan diri dengan masyarakat Kaltim serta suasana sosial budayanya yang sampai sekarang mungkin sekali masih asing bagi mereka. Belum lagi soal cuaca yang mungkin cukup berbeda dengan Jakarta.
Selain itu, para ASN yang selama ini tinggal di kompleks perumahan, seperti di Depok, Bekasi, Tandjung Priok, hingga Bogor, harus siap memasuki perumahan yang baru yang harus melakukan penyesuaian diri yang sedikit banyaknya memerlukan waktu yang diperkirakan tentu tidak sekejap atau sesaat dari DKI Jakarta ke Kaltim.
Libatkan Orang Asing
Presiden Joko Wido beberapa hari yang lalu mengatakan bahwa dirinya ingin mengikutsertakan beberapa tokoh dunia dalam pemindahan ibu kota pemerintahan terebut.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini kemudian menyebut beberapa nama, mulai dari Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UAE), Sheikh Mohammed bin Zayed, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, hingga pimpinan Softbank dari Jepang Masayoshi Son.
Sementara itu, sejumlah konglomerat kelas dunia dari Jepang, UAE, Amerika Serikat, Inggris, hingga Jerman. Para pengusaha dunia itu telah menyampaikan niat alias minatnya untuk menanamkan modalnya di Kaltim.
Jadi, masyarakat Indonesia sudah bisa membayangkan betapa beratnya tugas pemerintah untuk memindahkan lebih dari 118.000 pegawainya ke Kaltim, kemudian membangun berbagai prasarana dan sarana fisik, seperti jalan bebas hambatan alias tol, gedung-gedung pemerintahan, perumahan, hingga meyakinkan pengusaha-pengusaha asing untuk melakukan investasi tidak hanya di Kaltim, tetapi juga di provinsi-provinsi sekitarnya, seperti Kalimantan Utara, Kalteng, dan Kalsel.
Kembali ke tema pokok pemindahan kurang lebih 118.000 ASN, pertanyaan berikutnya haruskah mereka semua itu sarjana strata satu (S-1), S-2, atau S3? Karena Menpan Tjahjo Kumolo menyebut batas maksimal usia adalah 45 tahun, apakah para profesor yang pada umumnya sudah di atas 50 tahun masih bisa ikut “mudik” ke Kaltim atau tidak?
Diperkirakan PNS/ASN di Jakarta lebih besar dari angka itu maka bagaimanakan nasib mereka? Apakah mereka akan diminta pensiun dini ataukah dibiarkan saja “tanpa pekerjaan” di kantor lamanya hingga pensiun ataukah bagaimana?
Menpan serta BKN tentu sudah memikirkan bebagai alternatif guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di hati ribuan PNS yang merasa dirinya “terkatung-katung”.
Pemerintah tentu tidak ingin dianggap “membuang” ASN yang umurnya hampir mendekati batas 45 tahun itu. Kelompok ini pasti ingin mendapat jaminan dari pemerintah bahwa mereka jangan sampai disia-siakan alias “dibuang ke tempat sampah” begitu saja”.
Jadi, para ASN ini amat pantas untuk tetap dihormati, apalagi jika mereka sudah mengabdi kepada rakyat dan pemerintah selama puluhan tahun. Kelompok ini jangan sampai dianggap sebagai ”laskar tak berguna”.
Oleh karena itu, sekali lagi masyarakat tentu amat berharap agar ASN yang tidak ingin pindah ke Kaltim janganlah dianggap sebagai pihak yang membangkang atau menolak perintah.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982— 2018, pernah meliput acara kepresidenan pada tahun 1987—2009.
Pemindahan 118.000 ASN ke Kaltim merupakan sebuah keniscayaan
Rabu, 22 Januari 2020 12:58 WIB
Disadari atau tidak, setumpuk “pekerjaan rumah” harus disiapkan oleh pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin.