Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal DPP PPP Arsul Sani menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan cara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui jalur non-yudisial.
"Kami tidak menentang RUU ini namun mengkritisi agar tepat guna dan tepat sasaran agar menyelesaikan pelanggaran HAM karena menyangkut kepentingan masyarakat khususnya korban pelanggaran HAM," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Wakil Ketua MPR RI itu menjelaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan namun pertanyaannya apakah dengan jalan peradilan atau ada cara yang lain.
Menurut dia kalau dipaksakan dengan proses peradilan sementara kasusnya sudah lama lalu nanti pelakunya bebas, ada tuduhan baru bahwa pengadilan di Indonesia tidak pro terhadap penuntasan pelanggaran HAM.
"Padahal menghukum orang harus dengan alat bukti yang cukup plus keyakinan hakim. Karena itu sebagaimana di negara lain dicari alternatif selain proses yudisial yaitu non-yudisial antara lain melalui KKR," ujarnya.
Namun Arsul menilai dahulu UU KKR dianggap kontroversial lalu dibatalkan keseluruhan isinya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena itu PPP menilai biarkan wacana RUU KKR menggelinding.
Menurut dia dalam pembahasannya harus mendengar suara-suara masyarakat, tidak hanya kelompok LSM namun juga para korban bagaimana sikap mereka.
"Karena sering kali keluarga korban juga tidak lagi menuntut pengadilan sebagai satu-satunya cara tetapi katakanlah ada kelompok yang menghendaki malah tidak selesai selesai, tapi sekali lagi ya kira harus mendengarkan dari semua pihak," ujarnya.
Sebelumnya, DPR RI, Pemerintah, dan DPD RI menyetujui 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masuk dalam daftar RUU Kumulatif terbuka.
RUU KKR cara selesaikan pelanggaran HAM non-yudisial
Rabu, 11 Desember 2019 14:14 WIB
Kalau dipaksakan dengan proses peradilan sementara kasusnya sudah lama lalu nanti pelakunya bebas, ada tuduhan baru bahwa pengadilan di Indonesia tidak pro terhadap penuntasan pelanggaran HAM