Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI meminta kepolisian dalam menangani unjuk rasa bercermin dari penanganan demonstrasi selama berbulan-bulan di Hongkong yang tanpa menimbulkan korban jiwa.
"Polri selama ini 'kan selalu mendengungkan istilah promoter, yaitu profesional, modern, dan terpercaya. Maka itu, kalau profesional harus mengedepankan cara-cara yang bersifat pencegahan," kata Ketua ORI Amzulian Rifai dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Amzulian mengatakan bahwa Polri harus mampu melakukan pendekatan pencegahan dalam penanganan unjuk rasa, bukan semata dengan pendekatan keamanan.
"Di Hongkong itu hampir 4 bulan unjuk rasa. Kurang anarkis apa di sana? Kantor polisi dibakar. Akan tetapi, saya belum dengar ada korban. Kita baru beberapa hari, korban sudah banyak," kata Amzulian.
Ia menilai aparat profesional harus mampu menangani massa unjuk rasa dengan baik, sekalipun massa anarkis.
"Mereka harus terlatih bagaimana menghadapi unjuk rasa, bahkan kerusuhan. Kalau main asal tembak, mungkin saya juga bisa," katanya.
Terkait dengan adanya mahasiswa pedemo yang tewas di Kendari, Amzulian menegaskan bahwa hal itu harus diinvestigasi dengan baik.
Jika polisi mengatakan tidak membekali personel dengan senjata, hal itu harus dibuktikan.
"Masa ada yang tembak, terus menembaknya dari Amerika sana," seloroh Amzulian.
Ia menekankan kembali bahwa polisi memiliki tugas untuk menenangkan massa pedemo yang anarkis dengan tetap berlaku profesional.
"Kalau dikatakan demonstran anarkis, lantas kalau anarkis apa harus ditembak? Di Hongkong setahu saya tidak ada korbannya, kalau di sini dilindas baracuda," katanya.
Ombudsman RI minta Polri bercermin dari penanganan unjuk rasa di Hongkong
Senin, 30 September 2019 17:27 WIB
Polri harus mampu melakukan pendekatan pencegahan dalam penanganan unjuk rasa, bukan semata dengan pendekatan keamanan