Jakarta (ANTARA) - Ternyata kericuhan yang terjadi di Jakarta pada aksi massa, 21-22 Mei 2019, telah membuka "rahasia terpendam" bahwa tindak kekerasan yang telah menimbulkan sedikitnya delapan korban jiwa sebenarnya sudah dirancang sebelumnya dan bukan peristiwa yang terjadi begitu saja alias spontan.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Iqbal mengungkapkan bahwa Polri akan terus mencari dalang atau provokator peristiwa yang semula berlangsung damai dan tertib yang dilakukan oleh sejumlah pengunjuk rasa yang memrotes keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyebutkan pemenang Pemilihan Presiden atau Pilpres adalah pasangan dengan nomor urut 01 Joko Widodo- Ma’ruf Amin.
Jokowi-Ma’ruf meraih suara kurang lebih 55 persen sehingga mengalahkan pasangan dengan nomor urut 02 Prabowo Subianto- Sandiaga Salahudin Uno yang meraih suara 45 persen. Prabowo-Sandiaga kemudian mengajukan gugatan secara hukum ke Mahkamah Konstitusi atau MK.
Para pengunjuk rasa pada tanggal 21 Mei itu berdemo secara damai hingga berbuka puasa, Shalat Magrib, tarawih hingga Isya. Akan tetapi sekitar pukul 22.30 WIB, tiba-tiba muncul segerombol orang yang mulai melakukan kekerasan di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Namun, ada juga perusuh yang melakukan kekerasan di sekitar kawasan Petamburan, Tanah Abang dengan merusak belasan mobil dan motor. Mereka juga melakukan penjarahan.
Akibat tindak kekerasan yang muncul setelah aksi damai, maka kemudian Polri mulai melakukan penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, juga dikerahkan ratusan prajurit Polri yang didukung personel TNI guna mengamankan suasana. Akhirnya sejumlah "borok" mulai terbongkar.
Ternyata sekarang masyarakat menjadi tahu bahwa mantan kepala Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan Sofyan Jacoeb, yang memimpin Metro Jaya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur diduga terlibat dalam kasus ini sehingga telah dijadikan tersangka.
Kemudian mantan komandan jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD Mayor Jenderal Soenarko diduga juga terlibat terutama dalam pembelian dan mendatangkan senjata ke Jakarta sehingga sekarag ditahan di kantor Polisi Militer di Guntur, Jakarta.
Selain itu, mantan kepala staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Kivlan Zen didakwa menyuruh orang untuk membeli empat hingga lima pucuk senjata, Kivlan disebut-sebut memberikan uang tidak kurang dari Rp150 juta. Kivlan ingin membunuh empat tokoh yaitu Menko Polhukam Jenderal Purnawirawan Wiranto.
Selain itu, targetnya adalah Menko Kemaritiman Jenderal Purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi Purnawirawan Budi Gunawan serta Staf Khusus Presiden, Gorris Mere yang juga merupakan Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan. Sasaran lainnya adalah seorang pimpinan sebuah lembaga survei.
Selain itu, juga diduga terlibat sejumlah purnawirawan TNI AD yang akan mengerahkan massa dalam aksi kekerasan. Salah seorang di antaranya adalah mantan anggota tim mawar Kopassus yang pada sekitar tahun 1998 ditugasi membunuh sejumlah mahasiswa yaitu Letnan Kolonel Purnawirawan Fauka Farid.
Jangan "dimusuhi"
Penahanan Soenarko. Kivlan Zen serta Jacoeb yang disertai sejumlah alasan hukum tentu mengejutkan masyarakat.
Rakyat bisa menilai bahwa ada “pergesekan” di antara para pejabat pemerintah termasuk yang berasal dari TNI serta Polri dengan sejumlah purnawirawan padahal Indonesia baru saja menyelenggarakan Pilpres dan Pileg dengan aman dan tertib.
Rakyat di seluruh Tanah Air pasti tahu bahwa TNI dan Polri adalah sebuah organisasi yang bisa disebut paling kompak, rapi dan praktis tidak pernah mengalami masalah apa pun juga. Kalau memakai istilah sekarang TNI dan Polri adalah paling “solid”.
Akan tetapi dengan munculnya nama beberapa purnawirawan yang disangkakan terlibat dalam upaya makar, pembelian senjata secara tidak sah atau ilegal maka bisa dipertanyakan apakah sejumlah pensiunan atau purnawirawan itu tidak puas dengan keadaan saat ini di Tanah Air?
Apabila pertanyaan itu ingin dijawab maka jawabannya adalah bisa saja warga sipil, aparatur sipil negara, prajurit TNI dan Polri serta para purnawirawan merasa tidak puas atau kecewa terhadap situasi saat ini.
Para purnawirawan sebagai salah satu pihak yang bisa dinilai paling berjasa dalam mendirikan dan mengembangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa saja merasa tidak puas terhadap situasi saat ini di bidang politik, pertahanan dan keamanan. Ekonomi, sosial budaya dan lain-lain.
Jika ada ketidakpuasan di antara mereka maka pertanyaannya adalah apakah pemerintah saat ini pernah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kekecewaan, atau ketidakpuasan mereka itu? Pernahkan mereka diajak berdiskusi dalam forum resmi ataupun informal.
Semua purnawirawan terutama TNI pasti bisa disebut tergabung dalam forum Pepabri atau Persatuan Purnawirawan TNI yang tersebar di seluruh nusantara. Jika para purnawirawan itu sering diajak "kongkow-kongkow" atau ngobrol bareng maka pasti mereka merasa senang karena tidak "ditinggal", misalnya, oleh Wiranto, Luhut, Budi Gunawan dan juga Gorris Mere.
Kejadian yang tidak menyenangkan alias memprihatinkan ini seharusnya dijadikan masukan atau pelajaran yang amat berharga oleh Menko Polhukam Wiranto dan juga Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto supaya tidak terulang lagi pada masa-masa mendatang.
Rakyat Indonesia pasti sangat mencintai TNI dan Polri beserta seluruh jajarannya sehingga jangan muncul lagi ketidakpuasan yang “berlebihan” dari para purnawirawan yang pasti tidak ingin "memberontak" terhadap pemerintah.
Karena itu, masyarakat atau rakyat berhak meminta pemerintah untuk tidak "memusuhi" atau menjaga jarak dengan para purnawirawan sehingga kedamaian tetap berlangsung sampai kapan pun juga di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercinta ini.
Wiranto, Luhut, Budi Gunawan serta Gorris Mere memang berhak membanggakan diri dan "menepuk dada" bahwa mereka masih duduk dalam puncak pemerintahan.
Akan tetapi mereka itu harus mawas diri dengan bertanya kepada diri mereka masing-masing apakah mereka itu sudah sejajar dengan senior-senior mereka seperti almarhum Jenderal Abdul Haris Nasution, almarhum Jenderal Mohammad Jusuf, almarhum Jenderal Polisi Hugeng Imam Santoso yang rasanya tidak pernah cacat di mata rakyat Indonesia.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009