Pemerintah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten terus berupaya menekan pernikahan usia dini di masyarakat dengan melibatkan relawan dan aktivis perempuan.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan (DP2KBP3) Kabupaten Lebak, Dedi Lukman Indepur dalam keterangannya di Lebak, Rabu mengatakan saat ini jumlah kasus pernikahan dini di daerah ini cenderung meningkat dari tahun sebelumnya 2.000 kasus, namun sekarang hingga Oktober 2022 mencapai 2.800 kasus.
Baca juga: Pemkab Lebak ajak warga gotong royong untuk atasi stunting
Baca juga: Pemkab Lebak ajak warga gotong royong untuk atasi stunting
Meningkatnya kasus pernikahan dini itu berbagai faktor di antaranya faktor ekonomi, pendidikan dan kultur budaya masyarakat setempat.
Karena itu, pemerintah daerah melibatkan relawan tim pendamping keluarga (TPK) terdiri dari petugas Keluarga Berencana (KB), Bidan dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) juga aktivis perempuan untuk mensosialisasikan edukasi ke berbagai elemen masyarakat dan lembaga pendidikan guna mencegah pernikahan dini.
"Kami tidak henti-hentinya menyosialisasikan pencegahan pernikahan anak dan menunda perkawinan anak hingga memasuki usia 20 tahun," kata Dedi.
Menurut dia, perkawinan usia anak tentu akan menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat juga menghambat tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Selain itu, menurutnya dapat meningkatkan kasus kematian ibu dan anak, lantaran masih rentannya rahim mereka.
Bahkan, menimbulkan kasus prevalensi stunting atau kekerdilan yang dialami anak-anak akibat gagal tumbuh.
Pernikahan dini juga memengaruhi indeks kedalaman kemiskinan (IKK) sehingga menimbulkan kerawanan kejahatan juga dampak negatif lainnya adalah menyumbangkan perceraian cukup tinggi, karena mental mereka belum siap membangun rumah tangga.
"Saya kira lebih parah lagi pernikahan dini belum memiliki pekerjaan dan ketrampilan," ujarnya.
Aktivis perempuan Gerakan Organisasi Wanita ( GOW) Kabupaten Lebak, Tuti Tuarsih menjelaskan, pihaknya hingga kini menekan pernikahan usia dini dengan membangun komunitas di kalangan remaja agar mereka bisa memahami tentang dampak perkawinan usia dini.
Sebab, secara psikologis anak-anak yang menjalani perkawinan usia dini akan menanggung beban cukup berat yang semestinya tidak dialami pada usia mereka.
Mereka para komunitas kalangan remaja dapat mendiskusikan persoalan dan permasalahan pernikahan dini tersebut.
Dengan demikian, pihaknya meminta masyarakat yang memiliki anak agar tidak menikahkan anak usia dini.
Undang-undang tentang Perkawinan, katanya, batas usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Tetapi, jika mengacu UU tentang perlindungan anak, perempuan berumur 16 tahun masih masuk kategori anak-anak.
"Kami minta KUA dan penghulu agar berkoordinasi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan untuk mencegah perkawinan anak," katanya.