Lebak (ANTARA) - Anggota DPR RI Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya menyatakan tradisi "Seba Badui" yang dilaksanakan masyarakat Badui dengan silaturahim bersama kepala daerah dan pejabat sebagai aparatur pemerintah setempat perlu dijaga dan dilestarikan.
"Kita berharap budaya Seba Badui itu tetap dilestarikan sebagai warisan nenek moyang, " kata Hasbi yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI di Lebak, Sabtu.
Baca juga: Masyarakat Suku Badui gelar ritual tradisi "Seba"
Masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan adat tentu perlu dijaga dan dilestarikan agar tidak punah dengan kemajuan modernisasi dan teknologi.
Dari riset yang dilakukan Indonesia tahun 2018, terdapat delapan suku yang menolak kehidupan modernisasi dan teknologi dan mereka lebih melestarikan adat budaya setempat.
Namun, seiring dengan pesatnya kemajuan dan berdasarkan riset terbaru tahun 2022, dinyatakan enam suku yang masih mempertahankan adat istiadat dari nenek moyang mereka dan tidak terkontaminasi modernisasi. Sedangkan, dua suku sudah keluar dan menerima kehidupan modernisasi dan teknologi.
Enam suku yang masih menolak modernisasi dan teknologi itu, antara lain kehidupan masyarakat Suku Badui di Lebak, Suku Anak Dalam di Jambi , Suku Kajang Sulawesi Utara, Suku Mentawai Sumatera Barat, Suku Polawi Gorontalo dan Suku Korowai Papua.
"Kami berharap suku-suku adat yang menolak modernisasi itu tetap dijaga dan dilestarikan, " kata Politikus PDI Perjuangan dari Daerah Pemilihan I Banten ( Kabupaten Lebak dan Pandeglang).
Ia mengatakan masyarakat Badui yang tinggal di Kabupaten Lebak, Banten tentu merasa bangga, karena hingga kini kehidupan mereka tidak terkontaminasi dengan modernisasi. Kehidupan masyarakat Badui masih tradisional dan lebih mencintai alam yang menjaga hutan guna mencegah bencana.
Apalagi, Indonesia sebagai daerah Cincin Api, sehingga masyarakat Badui yang menjaga hutan dipastikan dapat mengantisipasi terjadinya bencana alam. Selain itu, juga masyarakat Badui yang masih melestarikan tradisi "Seba Badui" dengan membawa hasil bumi sebagai wujud syukur dari hasil pengelolaan pertanian ladang.
Dengan demikian, tradisi Seba Badui patut diapresiasi masyarakat Indonesia, bahkan dunia Internasional.
Selama ini, Pemerintah Kabupaten Lebak melindungi kehidupan masyarakat Badui yang tinggal di Desa Kanekes dan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Badui. Dimana, perda adat tersebut untuk melindungi hak- hak masyarakat Badui dari kepemilikan lahan, sehingga tidak ada penyerobotan lahan milik adat oleh pihak luar kawasan Badui.
Selain itu, perlindungan masyarakat Badui yang berkeinginan dibentuk perda desa adat dan kini sudah masuk tahap akademik. Biasanya, jika sudah masuk tahap akademik, akan menjadi pembahasan pada Sidang Pansus di DPR RI untuk segera diparipurnakan.
Ia mengatakan boleh saja kawasan pemukiman masyarakat adat Badui dijadikan destinasi wisata budaya, namun perlu adanya aturan antara warga Badui Luar dan Badui Dalam. Sebab, aturan itu untuk melestarikan kawasan Badui agar tidak menimbulkan kerusakan alam, sehingga para wisatawan tidak membuang sampah plastik maupun melakukan penebangan pohon.
"Kami minta wisatawan dapat mematuhi aturan adat warga Badui itu, " katanya.
Sementara itu, tokoh adat Badui yang juga Kepala Desa Kanekes Jaro Saija mengatakan masyarakat Badui tahun ini meminta pemerintah dapat merealisasikan pembentukan perda desa adat sebagai payung hukum yang kuat untuk melindungi kekhasan warga Badui.
Tradisi Seba atau tradisi bertemunya pemangku adat Badui dengan Bupati Lebak dan Gubernur Banten selalu disampaikan komitmen menjaga hutan agar tidak rusak perlu mendapatkan perlindungan hukum desa adat. "Kami berharap perda itu bisa segera diterbitkan pemerintah untuk melindungi masyarakat Badui yang berpenduduk sekitar 16 ribu jiwa lebih ini, " katanya.