Jakarta (ANTARA) - Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi, Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P Hutajulu mengatakan pemerintah terus berupaya mewujudkan ketahanan energi meski ekonomi masih mengalami tekanan akibat pandemi.
Terkait hal itu, jelas Jisman, pemerintah berpegang kepada PP Nomor 79 Tahun 2014 dalam upaya mewujudkan ketahanan energi.
"Ketahanan energi merupakan suatu kondisi ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi dengan harga terjangkau dalam jangka panjang dengan memperhatikan aspek perlindungan lingkungan hidup," kata Jisman dalam webinar yang diselenggarakan Indoposco bertajuk "Energi Bangkitkan Ekonomi di Tengah Pandemi" di Hotel Aston Kartika Grogol, Jakarta, Rabu.
Menurut Jisman ketahanan energi itu diukur dari akses masyarakat baik di kota maupun di luar kota untuk menjangkau kebutuhan energi.
Listrik yang terjangkau oleh masyarakat, akan mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan industri dan tidak membebani masyarakat. Selain ada ketersediaan energi, juga harus ramah lingkungan.
"Kondisi kelistrikan nasional ada tiga siaga di Bangka, Manokwari dan Nusa Tenggara Timur (NTT)," kata Jisman.
Untuk Bangka, lanjutnya, mengalami pengurangan. Kendati pemerintah tengah menyiapkan kabel laut untuk mensuplai listrik ke Bangka. Yang diperkirakan energi akan bertambah dua kali lipat untuk wilayah Bangka.
"Kita tengah kebut untuk kabel bawah laut dan nanti bisa mensuplai 2 kali lipat energi ke Bangka. Demikian pula Manokwari dan NTT," ungkap Jisman
Ia menyebut energi listrik saat ini ada 73,7 gigawatt dengan kepemilikan oleh PLN 60 atau 43 gigawatt. Untuk jenisnya sendiri ada 50 persen PLTU atau 37 gigawatt, PLTG 28 persen, PLTD 7 persen, EBT 11 persen.
"Untuk rasio elektriikasi 100 persen di 2022, saat ini baru 99,4 persen, kami melaksanakan program bantuan pasang baru listrik (PBL) 450 VA bagi rumah tangga miskin," ujar Jisman.
Ia menuturkan, pertumbuhan listrik saat ini cukup baik. Namun saat awal pandemi 2019 menurun hingga -0,8 persen. Untuk itu, menurut Jisman, pihaknya tengah mengajukan revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) baru. RUPTL 2019 pertumbuhan demand 6,4 persen.
"Untuk di 2021, berdasarkan pertumbuhan ekonomi kita tetapkan 4,9 persen," katanya.
"Apabila kita gunakan RUPTL lama, maka akan terjadi oversuplai dan menimbulkan cos," imbuhnya.
Menurut Jisman, Kementerian ESDM terus mendorong pemanfaatan EBT mencapai 23 persen di 2025 nanti. Untuk meminimalisir penggunaan bateri, maka harus memanfaatkan waduk.dan untuk menurunkan efek rumah kaca maka digunakan batubara dan biogas. "Di RUPTL baru kami tidak ada perencanaan batubara, tidak menjadi opsi lagi," ucapnya.
Lebih jauh dia mengungkapkan, pada RUPTL 2021-2031 ada penambahan 40,6 gigawatt. Diantaranya 10,4 gigawatt dari PLTA, PLTB 59 gigawatt, panas bumi 3,3 gigawatt dan tenaga surya 4,7 gigawatt dan sumber lainnya.
Dikatakan dia, pada 2060 nanti Indonesia menuju zero emisi. Untuk menuju kesana, peta jalan trasisi energi menuju karbon netral di antaranya: pembuatan UU EBT di 2022, pada 2025 EBT 23 persen, pada 2027 penurunan impor LPG secara bertahap, 2030 EBT 26,5 persen hingga 2060 EBT 100 persen dengan dominasi PLTS dan angin.
"PLTU/ PLTGU tidak ada tambahan, tambahan pembangkit EBT 2030 didominasi PLTS diikuti PLTB dan PLTAL. PLTP dimaksimalkan hingga 75 persen dan PLTA dimaksimalkan," terangnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, defisit neraca dagang disumbang oleh sektor migas. Karena tingkat impor untuk sektor tersebut tinggi. Kendati hingga 2050 nanti Indonesia masih bergantung pada fosil.
"Secara paralel EBT harus dikembangkan, tetapi tidak bisa kemudian selamat tinggal fosil," katanya.
Ia menyebut, target EBT di 2025 mencapai 23 persen. Tentu sisanya 25 persen dari minyak bumi dan batubara 30 persen. Indonesia, menurut dia, memiliki potensi panas bumi yang luar biasa. Kendati, data pemerintah tingkat konsumsi energi di 2050 tertinggi dari fosil.
"Pengembangan EBT harus terus didorong, tapi jangan kemudian percepatan ini langsung meninggalkan fosil. Karena sampai 2050, data pemerintah konsumsi masih besar dari fosil. Ini untuk apa? Agar tidak membebani neraca ekonomi kita," katanya.
Pemerintah berupaya wujudkan ketahanan energi
Rabu, 24 November 2021 21:44 WIB
Ketahanan energi itu diukur dari akses masyarakat baik di kota maupun di luar kota untuk menjangkau kebutuhan energi.