Jakarta (Antara News) - Wakil Ketua Asosiasi Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman memperkirakan industri petrokimia tahun 2013 akan lebih prospektif dibandingkan tahun 2012 yang sangat berat.
"Kalau tahun 2012 seluruh produsen petrokimia sejumlah negara, seperti di Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia mengalami penurunan marjin keuntungan yang cukup dalam," kata Budi saat dihubungi, Minggu.
Menurut Budi, marjin tipis di tahun 2012 akibat kenaikan bahan baku naphta (bahan baku industri petrokimia), sementara, harga produk cenderung stagnan akibat menurunnya konsumsi produk petrokimia secara global.
Budi menambahkan, kenaikan bahan baku naphta merupakan dampak dari tingginya harga minyak di pasar internasional.
Kemudian dampak dari krisis global yang melanda Eropa, serta perlambatan ekonomi di Cina, membuat harga jual produk petrokimia seperti polypropylene dan polyethylene tidak mengalami kenaikan, kata Budi.
Untuk tahun 2013, Budi memperkirakan industri petrokimia akan tumbuh. Sebab, mahalnya bahan baku naphta dapat diatasi dengan menggunakan bahan baku pengganti.
Salah satunya seperti yang dilakukan Pertamina, yang menyiasati kenaikan naphta dengan menggunakan bahan bakar pengganti seperti gas alam cair atau kondensat.
"Pertamina tahu benar hal itu sehingga kalau dianggap tidak kompetitif akan mencari bahan baku pengganti," ujar Budi.
Budi mengatakan, kerja sama Pertamina dengan PTT Global Chemical akan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan industri petrokimia di Indonesia.
Seperti diketahui PTT Global Chemical merupakan produsen olefin dan aromatic terbesar di Thailand dan pemain utama di kawasan Asia dengan total kapasitas produksi 8,2 juta ton per tahun, ujar dia.
Hal ini, kata Budi, akan memberikan nilai tambah bagi industri petrokimia di Indonesia yang selama ini masih harus tergantung impor untuk memenuhi industri hilir di dalam negeri.
Budi menjelaskan salah satu indikator perusahaan sekelas PTT Global Chemical masuk ke Indonesia karena melihat stabilitas ekonomi yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang diprediksi bisa mencapai 7 persen atau menempati posisi ketiga setelah Cina dan India.
Begitupula pertumbuhan industri petrokimia nasional biasanya sekitar 1-2 persen di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga, diperkirakan industri petrokimia nasional bisa tumbuh sebesar 8 sampai 9 persen pada tahun 2013.
Peluang industri petrokimia akan semakin besar terkait dengan rencana Indonesia dengan sejumlah negara Asia lainnya untuk menjadi pasar tunggal Asia, semacam komunitas negara-negara Eropa, ujar dia.
Budi optimistis, salah satu kontribusi terbesar membaiknya industri petrokimia pada tahun ini salah satunya disumbang dari akan beroperasinya pabrik butadiene milik PT Chandra Astri Petrochemical Tbk. Pabrik tersebut dinilai akan memberikan nilai tambah bagi induk perusahaan.
Menurut dia harga butadiene akan dihargai lebih tinggi baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri ketimbang Chandra Asri harus menjual dalam bentuk bahan baku crude C4.
Butadiene nantinya akan diolah menjadi SBR (Styrene Butadiene Rubber), ABS (Acrylonitrile Butadiene Styrene), SBL (Styrene Butadiene Latex) dan lain-lain.
SBR selanjutnya dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan karet sintetis yang merupakan komponen untuk industri ban dan komponen kendaraan berbasis plastik.
Selama ini, seluruh kebutuhan butadiene industri otomotif Indonesia masih diimpor dari luar negeri, terutama dari Korea dan Jepang.
Budi melihat permintaan butadiene di Indonesia masih sangat besar apalagi sektor industri otomotif saat ini maju demikian pesatnya, diperkirakan setiap tahun bisa tumbuh 1 juta mobil.
Budi menambahkan apabila hal itu dapat dikombinasikan dengan membaiknya harga bahan baku, maka investasi Chandra Asri di sektor polypropylene juga akan ikut terdongkrak.
Kebutuhan polypropylene di Indonesia masih sangat besar, kebutuhan industri hilir di dalam negeri 1 juta ton lebih, sedangkan yang dapat dipenuhi dari industri di dalam negeri hanya 825.000 ton, sedangkan sisanya harus diimpor.