Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan pentingnya inovasi dalam mewujudkan tanggap bencana mengingat Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap bencana.
"Kita memiliki risiko tinggi terhadap bencana baik itu alam, non alam, sosial, dan bencana kegagalan teknologi," kata Hammam dalam keterangan tertulis, Kamis, terkait kegiatan webinar "Kebijakan & Strategi Riset, dan Inovasi Teknologi Kebencanaan".
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2020 telah terjadi 4.650 kejadian bencana alam yang didominasi oleh bencana alam hidrometeorologi.
Untuk mengurangi kerentanan dan potensi risiko ini perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas melalui program penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) teknologi pada bidang kebencanaan.
BPPT, jelas Hammam, sebagai penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia turut terlibat aktif dalam pengembangan teknologi kebencanaan di tanah air.
Peranan tersebut diwujudkan dalam penerapan sistem deteksi dini terpadu tsunami (InaTEWS), teknologi modifikasi cuaca, hingga yang terbaru ini yaitu penerapan kecerdasan artifisial (KA) / artificial intelligence dalam upaya penanggulangan tsunami serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Hammam mengatakan BPPT tidak pernah lelah untuk berinovasi dan mengawal penerapan teknologi kebencanaan di tanah air, salah satunya dengan menggiatkan ekosistem inovasi di bidang ini bersama dengan stakeholders lainnya.
Hammam menjelaskan peningkatan frekuensi bencana di Indonesia mengakibatkan kerugian berupa perlambatan ekonomi, sedangkan pemerintah di masa pandemi ini memiliki program besar untuk melakukan pemulihan ekonomi di semua sektor. Oleh karenanya kita bersama harus berusaha untuk memprediksi bencana bahkan meminimalisir dampaknya.
Menurut catatan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana rata-rata mencapai Rp22,8 triliun tiap tahun. Hammam menilai kerugian tersebut dapat diminimalisir, karena bencana yang terjadi kerap berulang tiap tahunnya dalam suatu periode tertentu.
Hammam mengatakan hal tersebut dapat diantisipasi dengan kajian mendalam untuk bencana jenis tertentu dan di wilayah yang spesifik. Hasil kajian tersebut pun nantinya akan dibuat pemodelan yang selanjutnya diolah menggunakan bantuan teknologi KA. Proses tersebut pun telah BPPT mulai dalam program PEKA Tsunami, dan PEKA Karhutla.
Lebih lanjut, Hammam mengungkapkan paradigma penanggulangan bencana telah mengalami perubahan secara global. Beberapa pendekatan baru dalam kebencanaan telah menjadi perhatian dunia meliputi isu sustainable development goals (SDGs), global platform for disaster risk reduction (DRR), climate change, zero emission, dan save ocean.
Perubahan paradigma tersebut pun memberikan tantangan baru bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam agenda pengurangan risiko bencana baik secara nasional maupun global, terlebih pada tahun 2020 negara kita akan menjadi tuan rumah pertemuan Global Platform for DRR di Bali.
Hammam mengatakan BPPT harus bersiap dan mampu menunjukkan kepada masyarakat global bahwa Indonesia merupakan negara tangguh dan tanggap bencana. Dirinya mengatakan ekosistem inovasi teknologi kebencanaan sudah harus mulai mengubah mindset dan aware akan isu penting mengenai pengembangan teknologi sistem peringatan dini multi ancaman berbasis komunitas, peramalan berbasis dampak (impact-based forecasting), peringatan berbasis risiko (risk-based warning), dan sistem peringatan multi ancaman (global multi-hazard alert system).
Isu tersebut pun tidak lepas dari perhatian kegiatan pengkajian dan penerapan teknologi kebencanaan di BPPT. Melalui unit kerja Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), BPPT memiliki inovasi teknologi kebencanaan yang siap diterapkan oleh para mitra, diantaranya:
1. Sistem Peringatan Dini Bencana Tsunami (Indonesia Tsunami Early Warning System/Ina TEWS);
2. Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir (Flood Early Warning System/FEWS);
3. Sistem Peringatan Dini Bencana Longsor (Landslide Early Warning System/LEWS);
4. Sistem Kaji Kerentanan Struktur Gedung Bertingkat (SIJAGAT);
5. Sistem Informasi Kesehatan Struktur Gedung Bertingkat (SIKUAT); Rumah Komposit Tahan Gempa;
6. Sistem Simulasi Perubahan Guna Lahan (Simulan) untuk Aplikasi Bencana Tsunami;
7. Sistem Deteksi Dini Kebakaran Lahan dan Hutan;
8. Penanganan Kebencanaan Menggunakan Kecerdasan Artifisial (PEKA) Sistem Prediksi Kejadian Tsunami;
9. Kecerdasan Artifisial Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla);
10. Indonesia Network for Disaster Information (INDI);
11. Kajian Bencana Gagal Teknologi Sektor Industri;
12. Perlindungan Tanah dan Erosi Tanah (Biotextile);
13.
Reboisasi menggunakan Biji Tumbuh Mandiri (Bituman) untuk lahan gambut/pasca perkebunan
Hammam mengatakan tantangan besar Indonesia di bidang kebencanaan terletak pada bagaimana cara mendorong keterlibatan dan penerimaan hasil riset dan inovasi teknologi kebencanaan Indonesia dalam agenda prioritas nasional dan global untuk pengurangan risiko multi ancaman bencana.
Sebagai informasi webinar dengan tema Kebijakan & Strategi Riset, dan Inovasi Teknologi Kebencanaan yang dilaksanakan pada Kamis, 19 Agustus 2021, turut menghadirkan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati, serta Deputi Bidang Meteorologi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG Guswanto.
Hadir sebagai penanggap diantaranya Ardito M. Kodidjat dari National Professional Officer Disaster Risk Reduction and Tsunami Unit UNESCO Office Jakarta, Prof. Mega F. Rosana selaku Dekan Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, dan Prof. Jan Sopaheluwakan dari International Center for Interdisciplinary and Advanced Research (ICIAR) LIPI.
Kepala BPPT: Pentingnya inovasi wujudkan tanggap bencana
Kamis, 19 Agustus 2021 16:51 WIB
BPPT sebagai penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia turut terlibat aktif dalam pengembangan teknologi kebencanaan di tanah air.