Jakarta (ANTARA) - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengingatkan rencana pengenaan pajak karbon terhadap objek penghasil emisi haruslah berlandaskan asas keadilan.
"Pemerintah harus mempunyai instrumen untuk menjaga lingkungan, itu yang harus diutamakan. Usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan usaha yang menimbulkan dampak negatif bisa diberikan instrumen pengendalian seperti pajak karbon atau disinsentif,” katanya di Jakarta, Senin.
Sedangkan pada sektor industri padat karya, menurut Enny, relatif lebih rendah terhadap lingkungan.
"Artinya industri padat karya jarang sekali masuk dalam ranah kegiatan yang merusak lingkungan. Ada beberapa industri yang bisa diselesaikan dengan pengolahan limbah yang tepat, tidak harus dengan instrumen pajak karbon," papar dia.
Dia juga meminta penerapan pajak karbon terhadap industri semen harus dikaji kembali setidaknya memberi kesempatan terlebih dahulu terhadap sektor ini agar bisa bangkit dalam menghadapi krisis pandemi.
"Sektor ini, perlahan mulai bangkit dari krisis akibat pandemi COVID-19. Sebaiknya, industri ini harus pulih terlebih dahulu sebelum dibebani dengan berbagai tambahan beban seperti pajak karbon," ujar Enny.
Enny menambahkan semua pengaturan perpajakan, kerangka kerjanya bukan demi penerimaan negara, sehingga diperlukan instrumen yang tepat dan mengendalikan dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi.
"Penerapan pajak karbon mestinya harus dilakukan secara proporsional. Jika aturan tersebut tidak tepat sasaran, pemerintah hanya mengambil sisi penerimaan untuk negara," tegasnya.
Rencana penarikan pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Tujuannya untuk mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh emisi karbon.
Kebijakan tersebut tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Beleid ini rencananya akan dibahas secepatnya di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) oleh parlemen.
Lebih lanjut, dari revisi UU KUP mengungkapkan, pajak karbon dipungut dari orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon.
Dari sisi administrasi perpajakannya, pajak karbon terutang dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pajak karbon terutang pada saat pembelian barang yang mengandung karbon atau pada periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu.
Dari sisi penerimaan, nantinya uang pajak yang didapat dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
Kelak, bila beleid ini diundangkan, maka pemerintah akan segera menurunkan peraturan pemerintah (PP) terkait sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan objek pajak yang dikenai karbon.
Kemudian, pemerintah juga akan menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) terkait untuk mengatur lebih lanjut soal subjek pajak karbon, tata cara perhitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon.
Selain itu, memerinci alokasi penerimaan yang didapat dalam rangka pengendalian perubahan iklim.
Sebagai informasi, di negara lain pajak karbon dikenakan pada bahan bakar fosil karena emisi karbon yang ditimbulkan seperti batubara, solar, dan bensin. Adapun Jepang, Singapura, Perancis, dan Chile mengenakan pajak karbon dengan rentang tarif 3 dolar AS hingga 49 dolar AS per ton CO2e.
Dengan menggunakan kurs rupiah sebesar Rp14.500 per dolar AS maka rata-rata pajak karbon di empat negara tersebut berkisar Rp43.500 hingga Rp710.500 per ton. Sementara, jika rencana kebijakan pajak karbon pemerintah Indonesia dikonversi dalam ton maka sekitar Rp75.000 per ton.
Ekonom ingatkan pengenaan pajak karbon harus berkeadilan
Senin, 14 Juni 2021 19:59 WIB
Penerapan pajak karbon mestinya harus dilakukan secara proporsional. Jika aturan tersebut tidak tepat sasaran, pemerintah hanya mengambil sisi penerimaan untuk negara