Jakarta (ANTARA News) - Dialog kebijakan publik Universitas Atmajaya Jakarta mempersoalkan tender proyek konstruksi yang dilaksanakan pemerintah meskipun telah dilindungi peraturan dan perundangan kenyataannya masih rawan tindak pidana korupsi.
"Kasus Duta Graha hanya puncak gunung es dari buruknya pelaksanaan tender di Indonesia," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika di Jakarta, Rabu, dalam dialog bertajuk "Politik Uang dalam Proyek Infrastruktur dan Properti".
Ahmad Erani yang juga Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development of Economics and Finance Indonesia) mengatakan, pasar konstruksi nasional, khususnya skala besar seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan sebagainya memiliki karakter yang oligopsoni atau didominasi pemain tertentu saja.
Pemainnya bisa pemerintah dan BUMN, memang ada beberapa swasta tapi skalanya terbatas, kata Ahmad lagi.
Dialog ini merupakan tindaklanjut laporan yang diterbitan Bank Dunia mengenai korupsi di sektor jalan dengan judul "curbing fraud, corruption, and collusion in the roads sector dengan pembahas selain Ahmad Erani juga, Direktur PT Jaya Konstruksi dan Sekjen Asosiasi
Konstruksi Indonesia (AKI) Zali Yahya dan Peneliti pada ICW (Indonesian Corruption Watch) Firdaus Ilyas, dengan moderatorKetua LPPM (Lembaga Penelitian & Pengabdian
Masyarakat) Unika Atma Jaya Dr. A. Prasetyantoko.
Ahmad mengatakan, sebagai pembeli utama. pemerintah memiliki kepentingan untuk membangun negaranya.
Dia memaparkan, "Power tends to corrupt" merupakan istilah yang sudah sangat jamak didunia pemerintahan. Pemerintah atau oknum pejabat pemerintah dan kroninya termasuk broker-broker proyek, yang memiliki kuasa, dapat dengan mudah mengatur segala sesuatunya, sehingga setiap keputusan yang diambil sedapat mungkin menguntungkan dirinya.
Ahmad Erani mengatakan, banyaknya proyek mendorong situasi dan kondisi yang dimanfaatkan oleh orang-orang oportunis yang dekat dengan kekuasaan untuk menciptakan sistem untuk membagi-bagi proyek tersebut. “Arisan†menjadi wadah untuk menentukan siapa penerima proyek A dan siapa penerima proyek B.
Arisan disini dapat didefinisikan sebagai pengiliran dan penjatahan pemenang proyek dengan sistem tahu sama tahu antara pemain proyek (Pimpinan proyek, peserta tender dan panitia), ujar dia.
Lahirlah istilah calo proyek (orang diluar struktur formal namun bertindak sebagai penentu pelaksana proyek dengan berdasarkan pada deal-deal tertentu), sama halnya dengan munculnya istilah calo anggaran.
Calo proyek yang menjadi kaki tangan oknum pemerintah, berhadapan kepada penyedia jasa konstruksi. Bahkan calo tersebut mengatur besarnya komisi dari pelaksana serta bagi-baginya untuk Pimpro, panitia, dan pihak-pihak terkait lainnya. Sistem ini terbentuk secara alami mendorong setiap penyedia jasa konstruksi melakukan pemberian upeti untuk mendapatkan proyek.
Dia mencontohkan, kasus proyek jalan di Sulawesi yang setorannya sampai 45 persen dari nilai proyek, akibatnya hanya 65 persen yang sampai ke proyek tersebut.
Lebih jauh Firdaus Ilyas dari ICW mengatakan, kasus suap wisma atlet, Duta Graha merupakan korban dari politik percaloan dan “arisan†di bisnis konstruksi. Duta Graha ‘tidak beruntung’ ketika KPK bergerak setelah mendapatkan informasi.
Bahkan Partai politik yang tidak memiliki basis massa yang kuat sehingga secara finansial terpaksa tergantung pada "kelincahan" pengurus partai dalam menghimpun dana dengan korbannya APBN atau APBD yang di-mark up.
Di dunia internasional, praktek semacam ini sudah jamak terjadi. Kedekatan dengan pemerintah menjadi jalan untuk mendapatkan proyek. Kolusi ini dapat mematikan persaingan termasuk pendatang baru yang akan kesulitan dalam menjual produk atau jasanya.
Bahkan di AS yang mengagungkan demokrasi dan keterbukaan, Halliburton pernah memperoleh salah satu proyek pembangunan dan pemeliharaan basis militer dan logistik tentara Amerika di Irak senilai 1,7 miliar dolar AS pada Tahun 2008.
Perolehan kontrak tersebut disebabkan oleh kedekatan perusahan itu dengan salah satu pejabat pemerintah yang sebelumnya pernah memimpin perusahaan minyak terbesar kedua di dunia tersebut, kata Firdaus.
Firdaus mengatakan, dalam tataran kebijakan memang terjadi pemborosan APBN mengapa harus menyelenggarakan Asean Games di Palembang sehingga harus membangun fasilitas yang nilainya sekitar Rp500 miliar, nantinya setelah kegiatan berakhir harus diapakan aset ini.
"Mengapa pemerintah tidak menyelenggarakan di Jakarta saja yang fasilitasnya lebih lengkap. Bahkan ada kebijakan untuk mengalihkan alokasi anggaran dari suatu kementerian untuk pembangunan proyek ini," ujar dia.
Sementara itu Sekjen AKI Zali Yahya mengatakan, perusahaan konstruksi dapat menciptakan captive market sendiri untuk mengurangi koneksi dengan pihak yang memiliki kuasa. Captive market dapat diciptakan melalui captive investment artinya perusahaan konstruksi melakukan investasi pada bisnis-bisnis spesifik tertentu, yang pemain di industry tersebut sedikit, namun pembelinya banyak.
Perusahaan konstruksi seharusnya dapat berinvestasi di jalan tol atau pembangkit listrik, yang merupakan industri yang dibutuhan rakyat banyak , jelas dia.
Investasi pada industry-industri tersebut nantinya akan memberikan pendapatan berulang (recurring income) bagi perusahaan tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah investasi yang dituju harus sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, papar dia.
Dia menunjuk perusahaan konstruksi asal Australia, merupakan salah satu contoh sukses perusahaan konstruksi yang berhasil menciptakan captive market.
Persaingan yang semakin tinggi di bisnis konstruksi, mendorong untuk masuk ke bisnis EPC (engineering, procurement, construction) yang memiliki nilai kontrak yang jauh lebih besar, ujar Zali.
Persaingan yang masih rendah akibat keharusan memiliki kompetensi tertentu turut menjadi alasan perusahaan ini terjun ke bisnis ini.
Keberhasilan di EPC dilanjutkan dengan masuk ke bisnis investasi. Bisnis investasi yang dimasuki dapat berupa penyertaan saham pada proyek pembangkit listrik, jalan tol atau pada bisnis lainnya. Bisnis investasi ini nantinya akan memberikan pendapatan berulang bagi perusahaan.
Untuk itu dibutuhkan terobosan dan goodwill dari pemerintah untuk menata ulang dan mengawasi sistem serta pelaksanaan tender yang selama ini amburadul dan didominasi makelar proyek, jelas dia.
Dengan demikian jangan ada lagi ‘korban’ lain seperti Duta Graha dan industri infrastruktur di Indonesia dapat lebih baik, kata Ahmad menambahkan.
Tender Proyek Konstruksi Rawan Korupsi
Rabu, 22 Juni 2011 18:59 WIB