Jakarta (ANTARA) - Peningkatan kesadaran masyarakat atas kesehatan mendorong pakar ekonom dan kebijakan publik untuk merekomendasikan kebijakan yang mendukung terhadap produk yang memiliki risiko rendah, seperti produk tembakau alternatif.
Hal ini menjadi pembahasan utama dalam konferensi virtual yang diselenggarakan oleh Western Economics Association International (WEAI) pekan lalu.
Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Ariyo Bimmo yang hadir dalam konferensi virtual tersebut menyambut baik hasil riset dari para akademisi dan ekonom kelas dunia tersebut.
Hal ini dapat menjadi acuan bagi Indonesia dalam menerapkan kebijakan pengendalian tembakau yang berfokus pada pengurangan risiko.
"Selama ini kebijakan pengendalian tembakau masih mengabaikan temuan-temuan empiris yang menunjukkan efektivitas penerapan pengendalian tembakau dengan pendekatan pengurangan risiko. Contohnya adalah Korea Selatan. Meski Pemerintah Korea Selatan belum menerapkan kebijakan yang berbasis pengurangan risiko, namun mereka menyambut baik produk tembakau alternatif. Terbukti bahwa baru dengan penerimaan produk tembakau alternatif saja, mereka berhasil mengurangi jumlah perokoknya," tegas Bimmo dalam keterangan tertulis, Kamis.
Bimmo menyimpulkan bahwa Indonesia dapat mengadopsi praktik kebijakan berbasis pengurangan risiko yang sudah berhasil diterapkan oleh sejumlah negara, seperti Jepang, Swedia, dan Selandia Baru.
"Indonesia perlu melakukan riset yang mendalam mengenai produk tembakau alternatif, yang terdiri dari produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, snus, dan kantung nikotin, sehingga bisa mendapatkan fakta-fakta dan potensi yang dimiliki oleh produk tersebut. Informasi yang berdasarkan hasil kajian ilmiah mengenai profil risiko yang dimiliki oleh produk tembakau alternatif juga perlu disampaikan kepada masyarakat luas, khususnya perokok dewasa, sehingga konsumen dapat menentukan pilihan yang berimbang berdasarkan informasi tersebut," tutupnya.
Dalam konferensi tersebut, sejumlah akademisi dari Korea Selatan memaparkan hasil riset mereka terkait kebijakan pengendalian tembakau, di mana kebijakan tersebut tidak hanya bertujuan untuk mengurangi penggunaan konsumsi rokok yang memiliki risiko yang tinggi, tetapi juga memiliki manfaat dalam aspek ekonomi.
Profesor dari Sekolah Ekonomi Universitas Yonsei, Sun-Ku Hahn, mengatakan berdasarkan riset yang dilakukan pihaknya, terdapat tendensi yang kuat bagi perokok untuk beralih ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko dan sepenuhnya berhenti merokok. Selain itu, riset tersebut juga menyimpulkan bahwa produk tembakau alternatif terbukti tidak menjadi pintu masuk seseorang untuk mencoba rokok.
Menurut Sun, hal ini membuktikan bahwa produk tembakau alternatif memiliki mekanisme pengurangan risiko terhadap rokok.
"Kebijakan pengendalian tembakau yang paling efektif terhadap kesehatan publik adalah kebijakan yang telah dilakukan oleh negara-negara maju lainnya yang menerima dan mendukung keberadaan produk tembakau alternatif. Kebijakan tersebut membantu para perokok untuk mendapatkan akses dan informasi yang akurat terhadap produk tersebut," ujarnya.
Pakar Kesehatan Publik dari Universitas Ottawa, Profesor David Sweanor, mengatakan bahwa saat ini Selandia Baru telah menetapkan aturan yang proporsional dalam mengevaluasi profil risiko yang ditimbulkan oleh produk hasil olahan tembakau. Dalam menyampaikan informasi terkait produk tersebut, Pemerintah Selandia Baru menerapkan pendekatan kebijakan berbasis pengurangan risiko.
"Korea Selatan dan negara-negara lain harus mengikuti langkah yang dilakukan Selandia Baru. Mereka mengesahkan undang-undang yang mengakui bahwa rokok elektrik, salah satu produk tembakau alternatif, merupakan alternatif yang lebih rendah risiko daripada rokok," jelasnya.
Pakar dan ekonom dukung kebijakan berbasis pengurangan risiko
Kamis, 25 Maret 2021 14:21 WIB
Indonesia dapat mengadopsi praktik kebijakan berbasis pengurangan risiko yang sudah berhasil diterapkan oleh sejumlah negara, seperti Jepang, Swedia, dan Selandia Baru.