Serang, Banten (ANTARA) - Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menggambarkan Islam sebagai agama yang sedang mengalami krisis serta menuding Islam sebagai gerakan radikal dan teroris yang menjadi ancaman terhadap Perancis sejak 2012.
Siaran pers PBMA yang diterima di Serang Banten, Senin (26/10/2010) menyebutkan, pengurus Ormas Islam itu juga mengecam Presiden Prancis yang menyatakan tidak akan mencegah penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Disebutkan, pernyataan Macron itu merupakan ungkapan intoleransi dan kebencian yang memalukan bagi kepala negara seperti Prancis, dan bukan ranah kepentingannya untuk mereformasi agama, apalagi Islam dimana Macron juga bukan seorang pemeluk Islam.
Sebagai pemimpin Prancis, Macron semestinya berbicara tentang Islam dengan rasa hormat dan penerimaan, dan bukannya menghasut sebagian besar warganya dalam pidato yang tidak bertanggung jawab terhadap Muslim dan agama lain, sekedar untuk memuaskan sekelompok fanatik di Prancis agar bersimpati kepadanya.
Siaran pers yang ditandatangani Ketua Umum PBMA KH Ahmad Sadeli Karim Lc dan Sekjen H Oke Setiadi MSc itu juga menyebutkan, penghinaan kepada Nabi Muhammad dalam karikatur bukanlah kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, tetapi justru merupakan undangan eksplisit pada kebencian dan kekerasan.
Pembenaran tindakan penghinaan dengan kedok kebebasan pers dan kebebasan berekspresi merupakan kekeliruan pandangan tentang perbedaan antara hak asasi manusia dalam mendapatkan kebebasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan atas nama mendukung kebebasan.
PBMA menilai, pernyataan Macron yang kontroversial itu menunjukkan sikap Islamophobia serta mempraktekkan kebencian dan diskriminasi terhadap ummat Islam dan simbol-simbol yang disakralkannya, dimana hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Ditegaskannya pula bahwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad tidak patut dilindungi, baik dengan dalih kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi. Sikap seperti itu dapat memicu gesekan yang meluas dan konflik horizontal di Prancis sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa.
Jika sikap rasisme sistemik itu dibiarkan dan diteruskan, dikhawatirkan akan ada dampak buruk sebagaimana yang pernah terjadi di Amerika Serikat, Myanmar, dan India yang semuanya diperparah oleh kebencian dan diskriminasi yang berlindung dibalik kedok kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Terkait pernyataan Presiden Prancis yang menghina ummat Islam dan Nabi Muhammad SAW itu, PBMA meminta Kementerian Luar Negeri RI agar memaksimalkan potensi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk melawan praktek Islamophobia dan pelanggaran HAM.
Selain itu Indonesia melalui peranan khusus di Council of Europe sebagai organisasi yang bertanggungjawab terkait masalah HAM di Eropa dan berpusat di Prancis dapat mengambil peran mencari solusi bagi penghentian fenomena intoleransi pihak ultranasionalis, Islamophobia, dan pelanggaran HAM.
Kemudian, menurut PBMA, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Pemerintah Indonesia selayaknya mengecam dan melayangkan protes keras serta memanggil Dubes Perancis untuk memberikan klarifikasi.
Tetapi PBMA, melalui siaran persnya juga menghimbau ummat Islam di manapun berada supaya tetap berhati-hati, tidak terprovokasi, dan turut mengoreksi sikap Islamophobia, intoleransi, dan radikalisme demi menyelamatkan demokrasi dan perdamaian.
Mathla'ul Anwar kecam pernyataan kontroversial Presiden Prancis
Senin, 26 Oktober 2020 20:15 WIB
Disebutkan, pernyataan Macron itu merupakan ungkapan intoleransi