Jakarta (ANTARA) - Kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga ke Indonesia dinilai bukan sekedar kunjungan kenegaraan biasa, namun membawa pesan khusus dalam rangka menjaga hubungan kedua negara yang telah terjalin selama 62 tahun.
Kunjungan ini memberi sinyal kepada pemerintah agar tidak melupakan peran strategis Jepang dalam membangun harmoni geopolitik dan ekonomi dunia bersama negara para mitra.
Baca juga: Kunjungan PM Jepang Yoshihide Suga dan awal citra Indonesia "aman" COVID-19
“Kunjungan PM Suga memiliki pesan kuat dan strategis dari Jepang kepada mitranya di ASEAN, termasuk Indonesia. PM Jepang ingin menegaskan, kemitraan selama ini telah membawa dampak positif bagi ekonomi ASEAN dan tidak ingin apa yang telah dibangun bersama selama ini menjadi sia-sia,” kata Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Seusai menghadiri jamuan Perdana Menteri Yoshihide Suga dan alumni Jepang dari Indonesia, Rachmat menjelaskan di masa kepemimpinan Presiden RI sebelum-sebelumnya, Jepang selalu berkeinginan merajut hubungan yang hangat.
Menurut Rachmat Gobel, komitmen Jepang selalu hadir sebagai mitra terkuat ASEAN, khususnya Indonesia untuk kepentingan stabilitas politik dan ekonomi, baik dalam kancah regional maupun global. “Inilah yang perlu dibaca oleh pemerintah, berbagai lembaga terkait dan pelaku usaha.,” katanya.
Kunjungan PM Suga, kata dia, menegaskan selama 62 tahun menjalin kerja sama telah memberi kontribusi secara berkesinambungan dalam pembangunan Indonesia di berbagai sektor.
“Jepang tidak hanya hadir sebagai salah satu investor asing terbesar di bidang industri migas dan nonmigas, tetapi juga berperan besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Rachmat Gobel.
Melansir data Japan External Trade Organization (Jetro), total investasi perusahaan Jepang sepuluh tahun terakhir hingga 2018 tercatat 31 miliar dolar AS, yang ditanamkan di sektor industri, infrastruktur, dan jasa.
Sementara kontribusi ekspor perusahaan Jepang terhadap total ekspor Indonesia ke pasar dunia mencapai 24,4 persen. Menyerap sebanyak 7,2 juta pekerja dan hampir 90 persen perusahaan Jepang di Indonesia memberikan pelatihan kepada lebih dari 50.000 pekerja dan profesional. Sementara di bidang infrastruktur salah satunya adalah membangun pembangkit listrik berkapasitas 17 GW.
Di bidang peningkatan sumber daya manusia, menurut Japan Student Services Organization (JASSO) jumlah siswa Indonesia yang belajar di Jepang meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir hingga mencapai 6.277 orang pada tahun 2018, meskipun secara rasio masih di bawah Vietnam. Vietnam yang telah mengirimkan 72.345 orang siswanya pada tahun 2018, padahal total populasi Vietnam hanya 96 juta jiwa.
Peluang
Kunjungan PM Suga ke Indonesia juga membuka peluang besar kepada pelaku ekonomi nasional di sektor keuangan, perdagangan, industri manufaktur, serta infrastruktur, untuk melakukan perluasan kerja sama yang sudah berjalan maupun kerjasama baru, dengan pebisnis Jepang yang ikut dalam rombongan Suga.
“Kunjungan PM menyaksikan langsung perkembangan dan hasil kerja sama Indonesia-Jepang dalam berbagai sektor, termasuk progres proyek infrastruktur yang dibiayai Jepang, harus dimanfaatkan untuk menggali berbagai peluang baru. Semoga kunjungan ini mengkalibrasi hubungan dari hati ke hati sesuai dengan Doktrin Fukuda, menjadi lebih kuat lagi,” kata Rachmat Gobel.
Untuk itu Rachmat berharap, melalui instansi terkait pemerintah perlu terus menjaga hubungan baik dengan menjamin adanya regulasi yang adil untuk semua negara mitra Indonesia, termasuk Jepang.
“Sepanjang hubungan terjalin secara adil kepada seluruh negara mitra strategis tradisional, kita bisa berharap tidak hanya nilai investasi yang akan meningkat, kualitas investasi pun akan mampu memperkuat struktur ekonomi nasional dan menghadapi berbagai tantangan di era Industri 4.0, termasuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 yang dicanangkan Presiden Jokowi,” kata Rachmat Gobel.
Jangan sampai, lanjutnya, kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa arus modal yang masuk ke Indonesia saat ini terlalu didominasi pihak tertentu menjadi kenyataan. Menjaga kepentingan saling menguntungkan dan keseimbangan peluang investasi bagi negara-negara mitra tradisional Indonesia sangat penting.
“Kita sama-sama harus menjaga, jangan sampai ada negara yang bisa mendikte dan memaksakan kepentingan bisnisnya di atas kepentingan nasional kita, sehingga secara keseluruhan sangat merugikan negara,” ujar Rachmat Gobel.