Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, disebut mendapat Rp400 juta dari program Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).

"Saya diberi tahu salah satu staf Pak Menteri menunggu di lapangan tenis indoor karena saat itu Pak Menteri sedang main bulutangkis. Selesai main, beliau duduk di lapangan bulutangkis lalu bertanya ke saya: Bagaimana itu honor Satlak Prima kok saya tidak pernah dibayar? Saya bengong karena memang tidak pernah bayar honor Satlak Prima," kata Staf Ahli Bidang Kerjasama Kelembagaan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Chandra Bhakti, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.

Bhakti bersaksi untuk asisten pribadi Menteri Pemuda dan Olahraga, Miftahul Ulum, yang bersama-sama Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dan gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar.

"Selama ini memang tidak ada mekanisme untuk bayar honor pakmenteri karena mamang tidak ada dasar untuk kasih honor Pak Menteri, itu sebelum saya mengatakan honor Pak Menteri Rp5 juta per bulan, saya tidak tahu honor Pak Menteri tahun berapa karena Satlak Prima sejak 2014 sudah ada," kata Bhakti.

Satlak Prima adalah program pemerintah untuk menciptakan atlet andalan nasional yang mampu berprestasi di tingkat internasional.

"Pak menteri bilang mau berapa pun dibayar, Rp5 juta pun, berapa pun dibayar," kata dia.

"Jadi saudara bayar tidak?" tanya jaksa Ronald.

"Tidak bayar," jawab Bhakti.

"Jadi Rp400 juta apa? Karena BAP saudara no 11 mengatakan: Mulyana kembali bertanya kepada Supriyono apakah sudah melapor atau belum? Saudara menjawab Supri tidak pernah melapor lalu Mulayana datang bertanya: Yang KONI bagaimana? Karena anggaran sudah habis untuk bayar utang kegiatan dan honor-honor jadi Rp400 juta sudah dikasih ke Pak Menteri melalui Ulum, dan di situ masih ada Supri dan Mulyana sepemahaman saya Rp400 juta untuk memenuhi permintaan Pak Imam. Ini benar?" tanya Ronald.

"Iya, karena beredar cerita dari Pak Supriyono," kata Bhakti.

Dalam dakwaan disebutkan ada penerimaan gratifikasi sejumlah Rp400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional periode 2017-2018, Supriyono.

Pemberian uang itu diawali pada Januari 2018, Nahrawi memanggil Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga, Mulyana, di lapangan bulutangkis di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga. Nahrawi meminta uang honor untuk kegiatan Satlak Prima kepada Mulyana, padahal Satlak Prima telah resmi dibubarkan pada Oktober 2017.

Atas permintaan uang itu, Mulyana membahasnya dengan Bhakti selaku Pejabat Pembuat Komitmen Satlak PRIMA 2017 dan PPK Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Supriyono selaku BPP PPON.

Dalam pembahasan itu, akhirnya disepakati untuk memberikan uang sejumlah Rp400 juta kepada Nahrawi selaku penanggung jawab Satlak Prima. Penyerahan uang dilakukan Supriyono kepada Ulum di areal parkir Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, di dekat Masjid yang ada di kompleks Kementerian Pemuda dan Olahraga tanpa ada tanda terima yang sah dengan disaksikan Mulyana.

Beberapa hari kemudian Mulyana menyampaikan kepada Nahrawi bahwa uang untuknya yaitu sejumlah Rp400 juta telah diserahkan melalui Ulum selanjutnya Nahrawi mengatakan "terima kasih".

Dalam perkara ini Ulum selaku asisten pribadi Nahrawi bersama-sama dengan boss-nya itu didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal KONI, Ending Hamidy, dan Bendahara KONI, Johnny E Awuy. 

Dana itu terkait proposal bantuan dana hibah kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi 2018.
 

Pewarta: Desca Natalia

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020